TopCareer.id – Kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5 persen pada 2025 didukung oleh buruh, namun mendapatkan pertentangan dari pihak pengusaha.
Pakar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna mengatakan, kebijakan kenaikan upah ini berangkat dari adanya kebutuhan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, sekaligus kesejahteraan buruh saat ini.
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan itu mengatakan, sesungguhnya tingkat Upah Minimum Provinsi (UMP) saat ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi biaya hidup.
“Sebenarnya kan data kebutuhan hidup layak minimum itu tinggi. Hanya saja UMP yang ada, upah-upah minimum yang ada itu sangat jauh, atau jauhlah dari kebutuhan hidup layak minimum,” kata Hempri, dilansir laman resmi UGM.
“Saya kira ini bagian dari upaya sebenarnya untuk pemerintah untuk mendorong kesejahteraan buruh dan juga harapannya bisa meningkatkan daya beli dari masyarakat. Kira-kira itu mungkin dasarnya pemerintah,” imbuhnya, ditulis Selasa (10/12/2024).
Baca Juga: Upah Minimum Naik 6,5 Persen, Bos Buruh: Apindo-Kadin Kok Protes?
Namun, Hempri mengatakan kebijakan ini juga tetap harus dikaji lebih lanjut, agar tidak lupa memperhatikan kondisi pengusaha.
Kebijakan ini dinilai tetap punya potensi membuat banyak perusahaan gulung tikar, yang pada akhirnya juga berdampak ke daya tarik investasi.
Hempri pun mengusulkan agar dalam menyelesaikan masalah rencana kenaikan upah ini, tetap dilakukan proses dialog antara pemerintah, pengusaha, serta buruh, agar ada solusi yang dapat mensejahterakan buruh, serta mendukung iklim usaha di Indonesia.
“Saya kira juga yang menjadi penting adalah perlu dialog yang secara kontinyu ya antara buruh, pengusaha, dan pemerintah, sehingga kan pengusaha juga tetap merasa diuwongke,” ujarnya.
“Ini ada sebagai sebuah proses-proses dialogis ya, yang harapannya ini ya kebijakan itu untuk semua,” ia menambahkan.
Baca Juga: Upah Minimum Naik 6,5 Persen, Apindo Minta Penjelasan Pemerintah
Dialog juga tak cuma soal kenaikan upah minimum. Hempri menegaskan, proses ini dibutuhkan terkait program pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).
Menurutnya, program peningkatan kualitas SDM, selain meningkatkan daya serap tenaga kerja oleh industri, juga meningkatkan produktivitas perusahaan.
Hempri mengatakan, kualitas SDM sangat mempengaruhi reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara penyedia buruh murah, dan mengubahnya menjadi negara penyedia SDM berkualitas.
“Saya kira rencana kenaikan UMP ini menjadi momentum untuk meningkatkan nasib buruh dan mengubah paradigma, kita tidak dikenal dengan gaji buruh murah, tapi yang dijual adalah produktivitas kerja,” pungkasnya.