Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Lifestyle

Marak Kasus Bullying pada Anak Bikin Orang Tua Makin Was-Was

Ilustrasi stop bullying pada anak. (Gambar dibuat dengan AI ChatGPT)

TopCareer.id – Kasus perundungan atau bullying pada anak saat ini tengah jadi sorotan di berbagai media. Orang tua pun makin khawatir kejadian ini terjadi pada anak mereka.

Hasil survei Ipsos di 2024 mencatat, 37 persen orang tua menyebut kekhawatiran terbesar mereka adalah kesehatan mental anak, disusul bullying yang mencapai 35 persen.

“Kekhawatiran orang tua dengan jumlah di atas 30 persen tentu sudah warning,” kata Dwi Hastuti, Pakar Ilmu Keluarga IPB University, dikutip dari laman resmi, Rabu (19/11/2025).

Ia mengatakan, idealnya adalah tidak ada orang tua yang merasa khawatir karena lingkungan harusnya aman bagi anak-anak.

Menurut Dwi, tingginya angka kekhawatiran ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam proses pengasuhan.

Di era saat ini, banyak anak terpengaruh oleh perilaku yang ia konsumsi di media sosial, film, maupun lagu, yang mungkin mengandung konten yang tidak sesuai usianya, termasuk pornografi dan kekerasan.

Baca Juga: Pesan Penting di Balik Film Jumbo Bagi Para Orang Tua

“Anak yang tidak dididik dan diasuh oleh orang tua yang sadar akan paparan tersebut akan mudah terpengaruh. Apalagi jika lingkungan sekolah dan masyarakat justru memperkuat perilaku kekerasan ataupun perilaku asusila,” kata Dwi.

Dwi pun menekankan bahwa keluarga merupakan fondasi utama dalam membentuk karakter anak, meski sekolah, masyarakat, dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar dalam mendukung moralitas generasi muda.

Untuk menjamin perkembangan moral dan emosi anak, Dwi menegaskan pentingnya pemberian emosi positif sejak dini, agar terbentuk kelekatan emosional dan konsep diri yang sehat. Selain itu, ia juga menekankan penerapan pendidikan karakter.

Maka dari itu, Dwi memberikan saran agar ada program pengasuhan berjenjang berdasarkan tingkat urgensi: primer, sekunder, dan tersier.

Ia mencontohkan, di level primer dibutuhkan tindakan promotif seperti sosialisasi dan edukasi, untuk menghindari terjadinya kerusakan moral pada anak.

Sementara, di level sekunder dibutuhkan tindakan preventif, yaitu memberikan layanan konsultasi dan konseling kepada anak yang membutuhkan.

Baca Juga: Cita-Cita Anak Jadi Influencer? Ini yang Harus Dilakukan Orang Tua

Kemudian pada level tersier lebih bersifat kuratif, dengan memberikan layanan rehabilitasi sosial pada anak yang terjerat penggunaan NAPZA atau dengan menerapkan family based care alternative.

Selain itu, penguatan pengasuhan harus mengakomodasi nilai-nilai spiritual dan religius. Pesan tentang kasih sayang, empati, dan tanggung jawab harus disuarakan lewat berbagai kanal komunikasi, agar tertanam dalam kesadaran generasi muda.

Sebaliknya, nilai-nilai negatif seperti materialisme, kesombongan, dan ujaran kebencian perlu digantikan dengan The God Command Theory, yaitu keyakinan bahwa setiap tindakan manusia akan mendapat balasan dari Tuhan.

“Keluarga, sekolah, dan pemerintah harus bersinergi dalam mengatasi krisis moral anak bangsa,” kata Dwi.

“Dengan kolaborasi dan nilai-nilai moral yang kuat, kita dapat menciptakan generasi berakhlak mulia dan berdaya saing tinggi tanpa kehilangan jati diri,” pungkasnya.

Leave a Reply