Topcareer.id – Berdasar laporan yang dirilis IDEAS, Institute For Demographic and Poverty Studies, sebesar 77,1 persen responden survei menyatakan tidak menurunkan konsumsi rokoknya selama pandemic, bahkan meningkat.
Di masa pandemi ini konsumsi rokok memberi beban dan kerugian yang semakin serius bagi keluarga miskin. Untuk itu, IDEAS melakukan survei nasional ke 1 013 kepala keluarga miskin di Jabodetabek Semarang Raya, Surabaya Raya, Medan Raya dan Makassar Raya pada Januari Februari 2021.
Menurut publikasi yang terbit pada Rabu (30/6/2021), menjadi terlalu miskin membuat perokok miskin tidak lagi mampu membeli rokok meski hal ini tidak selalu berarti berhenti merokok.
“Perokok miskin yang terlalu miskin untuk membeli rokok masih berusaha merokok dengan mengharapkan pemberian dari orang lain. Hanya 1,6 persen responden di kelas ini yang mengaku berhenti merokok setelah pandemic,” tulis laporan tersebut.
“Krisis tidak mampu membuat si miskin mengurangi konsumsi rokok nya terlebih berhenti darinya. Di tengah kondisi ekonomi yang kian terpuruk pun, perokok miskin tetap keras berusaha untuk dapat terus merokok.”
Secara umum penghasilan dan daya beli perokok serta harga dan ketersediaan rokok adalah faktor utama yang memfasilitasi enabling factors konsumsi rokok individu.
Meski enabling factors adalah terbatas bagi keluarga miskin, namun kondisi kemiskinan membuat mereka rentan untuk mengenal dan mengkonsumsi rokok bahkan sejak usia dini
Prevalensi merokok penduduk lak laki di kelompok pendapatan 20 persen termiskin mencapai 82,0 persen jauh di atas prevalensi merokok penduduk laki laki di kelompok pendapatan 20 persen terkaya yang hanya 58,4 persen.
“Sebesar 77,1 persen responden menyatakan tidak menurun konsumsi rokoknya selama pandemi bahkan meningkat,” sebut dalam publikasi IDEAS yang berjudul “Keluarga Miskin dan Rokok di Masa Pandemi.”
Baca juga: Kemenperin Prioritaskan Produksi Gas Oksigen Untuk Medis
Dengan berposisi sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah sebesar 73,2 persen perokok miskin mempertahankan pengeluaran rokoknya meski kondisi ekonomi menurun. Itu artinya, pengeluaran kebutuhan lain turun atau bahkan ditiadakan agar dapat terus merokok dengan kuantitas yang sama.
Sebesar 39,7 persen responden bahkan mengaku rela membeli lebih mahal rokok pilihannya yang di masa pandemi harganya meningkat.
Namun, jatuhnya penghasilan secara drastis dan menjadi terlalu miskin, mempengaruhi perilaku merokok si miskin. Sebesar 21,2 persen responden menurunkan pengeluaran rokoknya di masa pandemi meski hal ini tidak selalu berimplikasi pada turunnya konsumsi rokok.
“ Sebesar 16,1 persen responden mengaku di masa pandemi beralih ke rokok dengan harga yang lebih murah.”
Namun, berpindah ke rokok murah mengizinkan perokok miskin mempertahankan kuantitas konsumsinya dengan pengeluaran yang lebih rendah atau meningkatkan kuantitas konsumsinya dengan pengeluaran yang sama.