TopCareerID

Perjuangan Bidan Tekan Angka Kematian

Ilustrasi

TOPCAREER.ID – Membantu persalinan dari rumah ke rumah seolah jadi hal lumrah di tengah beragam hambatan dan batasan seorang bidan, demi mencegah risiko kematian karena melahirkan. Berprofesi sebagai seorang bidan saat ini tentulah berbeda dengan dulu. Beda masa, beda pula perjuangannya. Bahkan, bidan dahulu tergolong sebagai pekerjaan yang langka.

Rosmiyati, bidan pelaksana Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu, bercerita bahwa dirinya sempat merasakan perjuangan menjadi bidan di desa terpencil. Berbagai macam keterbatasan memang lebih sering datang, namun tak lantas membuat tanggung jawab persalinan luntur dengan gampang.

“Dulu kan di desa sendiri, nolong lahiran sendiri, paling-paling dibantu sama dukun beranak. Jadi, itu program pemerintah untuk ditempatkan di desa-desa terpencil.  Selama lima tahun nih enggak boleh pindah. Waktu itu di Majalengka, Jawa Barat,” kata Rosmiyati saat ditemui TopCareer.id.

Lima tahun di desa itu, ia kerap diminta menolong orang yang sakit di luar persalinan, seperti demam dan flu. Semuanya ditangani sendiri karena program pemerintah saat itu satu bidan untuk satu desa.

“Masyarakat waktu itu ya respect, merasa terbantu. Kan bantu berobat umum juga, pengobatan dasar. Kayak suntik KB, atau kalau cuma pusing, panas. Dasar-dasar itu bidan tahu ya. Kan kami belajar obat juga. Mengenal obat-obatan,” ujar dia.

Namun, untuk penanganan penyakit yang serius tetap harus dirujuk ke dokter karena dokter lebih paham pengobatan lanjutannya seperti apa. Misal, dalam pemberian antibiotik, itu tidak termasuk ranah bidan sehingga perlu dikonsultasikan ke dokter.

Ia mengenang ketika ditempatkan di desa terpencil, seorang bidan harus rela siaga menangani pasien 24 jam tanpa diperbantukan siapa pun. Bahkan, kala itu bidan harus berkantor di rumah penduduk, namun tetap di bawah induk Puskesmas kecamatan.

“Tiap bulan ada program Posyandu tanganin sendiri. Paling dibantu kader untuk pencatatannya, kami ambil vaksin ke Puskesmas. Dukun beranak juga bantu kan enggak bawa (peralatan) apa-apa. Ya, kalau ada apa-apa ke Puskesmas, atau ke RSUD,” paparnya.

Bahkan, jika harus menangani pasien di luar tempat praktik, dirinya selalu terkendala transportasi yang masih sulit karena akses yang minim. “Belum ada listrik, mobil jarang juga. Tapi harus langsung datang ke masyarakat. Perjuangannya lebih berat,” kenang Rosmiyati.

Setelah lima tahun ikatan dinas, barulah bidan yang ditempatkan di desa itu diperbolehkan memilih untuk ditugaskan di mana. Pindah ke luar tempat dinas atau tetap bertugas di tempat untuk jangka waktu lama. Lantas Rosmiyati sendiri memutuskan pindah ke Jakarta lantaran ikut sang suami.

Kala itu, pemerintah memang sangat membutuhkan profesi bidan dalam membantu persalinan, serta mengurangi risiko kematian ibu dan anak. Sehingga diadakanlah program D1 Kebidanan yang hanya menempuh pendidikan setahun. Setelah lulus langsung ditempatkan di desa-desa terpencil.

“Sekarang ada enggak yang kayak gitu? Kayaknya enggak ada. Kecuali ada perekrutan kayak kemarin Dinkes buka pendaftaran buat pegawai honor, mereka (lulusan bidan) langsung lamaran ke dinas. Jadi, Dinkes buka web lowongan, mereka pada datang untuk test,” papar Rosmiyati.

Ia menilai lulusan bidan saat ini peluangnya lebih kecil dalam mendapatkan pekerjaan dibanding pada eranya dulu. Apalagi, lulusan akademi kebidanan kini jumlahnya semakin banyak.

“Dulu kan bidan masih jarang, makanya ada program pemerintah D1 itu. Cuma satu tahun pendidikan, jadi kayak digojlok benar-benar, yang penting bisa nolong orang lahiran. Kalau dulu zaman saya, tahun 1992, dari program itu langsung diangkat pegawai negeri. Jadi, langsung ditempatkan ke desa terpencil. Sekarang enggak ada, terakhir 1995 kayaknya,” ucap dia.

Ia berpendapat bahwa seharusnya lulusan bidan bisa disalurkan oleh pemerintah ke daerah-daerah agar lebih merata, sehingga kesempatan para lulusan bidan ini untuk mendapat pekerjaan lebih terbuka lebar.

“Misalnya pemerintah rekrut tahun ini, harus buka pendaftaran 1.000 bidan. Terus perjanjiannya untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Gitu harusnya, kalau pribadi lulusan bidannya sendiri ke daerah terpencil ya enggak mungkin,” kata dia.

“Mereka (lulusan bidan) maunya pada di Jakarta semua, atau paling enggak orang Jawa ya maunya di Jawa. Enggak mau dong ke luar daerah. Misal nih ya, setelah lulus enggak dapat kerjaan bidan, mungkin mereka lebih memilih enggak jadi bidan daripada ke luar daerah. Apalagi kalau sudah punya keluarga, ya di rumah aja,” lanjut perempuan yang sempat sekolah keperawatan ini.

Rosmiyati menambahkan, selain mengandalkan peluang kerja yang dibuka pemerintah, lulusan bidan juga bisa masuk ke rumah sakit swasta, menjadi honorer, atau pahit-pahitnya membuka bidan praktik mandiri (BPM).

“Pasien kan enggak semua ke Puskesmas, enggak semua ke rumah sakit. Mungkin larinya ke bidan swasta yang pelayanannya lebih pribadi. Lebih diperhatiin gitu.”

Terkait persyaratan bidan praktik mandiri ini, Rosmiyati tidak mengetahui secara menyeluruh. Ia mengatakan, tiap bidan harus memiliki surat registrasi bidan. Dan pembuatan surat itu harus melalui uji kompetensi. “Kalau buka praktik sendiri, yang jelas ada tempat, terus izin. Izinnya itu melalui IBI (Ikatan Bidan Indonesia) yang saya tahu.”

Sementara itu, Een Hunaenah, seorang bidan praktik mandiri menjelaskan persyaratan apa saja yang diperlukan untuk membuka praktik. Een menyampaikan, persyaratan pertama tentulah harus mahir dan wajib lulusan sekolah bidan. Kemudian harus memiliki Surat Izin Praktik Bidan (SIPB) selaku swasta perorangan.

“Kalau sekarang harus ada sertifikat Bidan Delima, lalu dari IBI kami ikut dalam organisasi. Jadi, kami ada di bawah pengawasan organisasi itu. Selain IBI, ada test dari pemerintah, ada ujiannya. Lalu ikut seminar-seminar, seperti cara pertolongan persalinan, itu akan dapat sertifikat,” papar Een yang sudah 44 tahun membuka praktik bidan.

Ketika ditanya biaya buka praktik mandiri, Bidan Een menjawab bahwa buka praktik bidan zaman dulu itu malah ala kadarnya, tidak bisa dibilang mahal karena semua peralatan sejalan dengan kebutuhan dan ketersediaan keuangannya.

Lantas ia bercerita alasannya membuka praktik mandiri kala itu lantaran banyaknya permintaan untuk menolong persalinan secara pribadi. Perempuan yang sempat bekerja di Puskesmas ini menyatakan, untuk memenuhi permintaan itu, ia langsung menyediakan satu kamar di rumahnya sebagai tempat praktik.

“Mulanya tetangga sering lihat saya pakai baju putih seperti dokter, ditanya bisa nolong orang lahir apa enggak. Lama-lama dipanggil terus, dan akhirnya jadi pasien sendiri. Jadi tempat praktik awalnya dari kamar di rumah. Pagi-pagi udah nolong orang lahiran, kadang-kadang tengah malam dipanggil.”

Ia bertutur, dulu ketika dirinya membantu persalinan, tidak ada pasang tarif atau biaya perawatan secara jelas. Bahkan, tak jarang imbalan yang ia terima bukan berbentuk uang, melainkan kebutuhan pokok atau hasil bumi seperti buah-buahan.

“Enggak pakai harga, pulang-pulang kadang bawa durian. Entar udah 3 hari, baru dikasih uang. Sedikasihnya aja. Sekarang lebih sejahtera. Malah dari pasien sampai sekarang ini saya punya 8 rumah , alhamdulillah semua sumbernya dari praktik bidan ini selama berpuluh-puluh tahun,” kata Een.

Een menambahkan, dulu pasien yang datang bisa mencapai 60 orang selama sebulan, sedangkan tenaga bidan yang ada di tempat praktiknya cuma dua orang. Saat ini, paling banyak pasien yang datang 20 orang sebulan, dengan tenaga bidan yang malah terbilang cukup. Tarif persalinan yang ia patok saat ini, di kisaran Rp 4 jutaan sudah termasuk perawatan ibu dan anak selama dua hari.

Ia menilai, kini bidan Puskesmas dirasa lebih sejahtera karena dukungan pemerintah yang banyak diberikan kepada tenaga khusus Pegawai Negeri Sipil (PNS), termasuk bidan. “Bahkan untuk peralatannya sekarang sudah canggih, semua dipasok pemerintah,” tandas Een.

Pada dasarnya, kerja bidan praktik dan bidan Puskesmas sama saja, namun bidan praktik mandiri akan lebih intens dalam melakukan perawatan. Perbedaan lainnya adalah, bidan Puskesmas melulu menjalankan program pemerintah, laporan-laporan yang diberikan pun terkadang memiliki target.

“Misalnya periksa hamil, ibu hamil baru 3 bulan ke bawah berapa orang, bersalin berapa, kematian berapa. Kalau jam kerja, ya sama kayak Puskesmas kan, shift-shift gitu. Jam 8 sampai jam 2 siang, jam 2 siang sampai jam 9 malam, lalu jam 9 malam sampai jam 7 pagi,” papar Een.

Lingkup Kerja Bidan

Banyak orang mengetahui, kerja bidan hanya sebatas membantu persalinan ibu melahirkan. Padahal, mulai dari imuniasi, perawatan ibu hamil, program Keluarga Berencana (KB) hingga kesehatan reproduksi perempuan merupakan ruang lingkup kerja seorang bidan.

“Setelah melahirkan, kemudian pemeriksaan bayinya hingga imunisasi, itu bidan juga. Bayi 9 bulan kan imunisasi sampai 5 tahun. Penimbangan juga kan masih sama bidan. Terus ibunya sampai KB juga bidan yang menangani,” jelas Rosmiyati.

Bahkan menurut Een sebagai bidan praktik mandiri, lingkup kerja bidan juga melakukan penyuluhan terkait kesehatan ibu dan anak, serta alat reproduksi. Misalnya, cara berpakaian yang baik untuk menjaga kesehatan perempuan, lalu cara menggendong bayi yang benar, dan penanganan yang tepat untuk bayi sakit.

“Kapan anak itu menangis, lapar atau haus, bisa aja sakit kepala, bisa badannya pegal. Jadi, dari cara gendong, ada akibatnya kalau salah gendong. Cara memandikannya, kapan dikasih imunisasinya, apa aja yang harus diberikan kepada bayi,” ucap Een.

Sementara itu, dalam membantu persalinan, bidan tetap memiliki keterbatasan. Ranah bidan adalah menolong persalinan secara normal. Jika terdeteksi kelahiran di luar normal, seperti caesar, maka akan dirujuk ke dokter kandungan. Nah, di sinilah perbedaan kerja bidan dan dokter kandungan.

“Persalinan kan ada yang patologis atau tidak normal. Kalau patologis kami hanya mempelajari saja, jadi tahu, oh ini batasnya tidak normal jadi bagian dokter. Jadi, hak bidan untuk persalinan normal, kalau dokter itu untuk yang abnormal, walaupun dokter juga sering nolong yang normal,” papar Rosmiyati.

Selain proses persalinan yang terbagi antara porsi bidan dan dokter kandungan, cek kehamilan pun punya bagiannya masing-masing. Periksa kehamilan pada bidan hanya dilakukan secara konvensional, yakni berdasarkan hitungan. Sedangkan, cek USG (Ultrasound Sonography) kehamilan hanya boleh dilakukan oleh dokter kandungan saja.

“Pemeriksaan kehamilan biasa, sesuai yang kami pelajari. Taksiran bersalin pun kami tanya dari data ibunya, si subjek. Haid terakhirnya kapan, kami hitung umur kehamilannya sampai taksiran persalinannya kapan, ada rumusnya. Itu dipelajari sebelumnya di sekolah,” jelas Rosmiyati.

“Atau cek kehamilan ya periksa tangan aja, sama dengerin jantung bayi, ada pakai alat manual. Ya, baca hasil (USG) juga, mereka (dokter kandungan) yang tulis, baru kami baca tulisannya. USG itu kan ada umur hamilnya berapa minggu, keadaan air ketubannya, perkiraan berat bayi, dan perkiraan lahir.”

Rosmiyati mencontohkan kasus lain seperti keguguran, kalau dokter akan lebih paham penanganannya dan anjuran obat yang harus diberikan untuk memperkuat kandungan. Sementara, bidan memang tidak mempelajari obat-obatan seperti itu secara mendetail.

“Dokter kandungan pengobatannya juga kan lebih rinci, kalau kami enggak. Jadi, secara garis besarnya saja udah beda, dokter menangani yang patologis, operasi caesar, dan USG, enggak mungkin bidan.” 

Exit mobile version