Find Us on Facebook

Instagram Gallery

Configuration error or no pictures...

SKILLS.ID

Subscribe to Our Channel

Thursday, April 18, 2024
redaksi@topcareer.id
Profesional

Seksolog di Indonesia Antara Ada Tiada

Ilustrasi

Dengan stigma normal dan abnormal berdasarkan orientasi seksual itu tadi, maka seksolog kadang bertabrakan dengan nilai yang selama ini tertanam sejak lahir pada diri setiap orang. Seksolog harus mampu melihat secara luas setiap masalah sehingga membuat solusi tidak berdasarkan skema pribadi.

“Kita dibesarkan dengan heteronormativitas, sementara kami harus mau fleksibel melihat ada orang di luar dari heteroseks.” ujarnya. “Intinya mental mesti kuat. Seksolog, profesi yang jarang karena dia rumit dan membutuhkan keluwesan cara berpikir. Karena dia sangat-sangat membutuhkan orang yang non-judgemental. Terlebih karena informasi soal seksualitas ini kan jarang dipelajari. Dan itu akan lebih banyak berkutat akan value diri kami sendiri.”

Selain non-judgemental, seorang psikolog atau seksolog harus bisa berempati, serta berpihak pada kebutuhan klien. Seorang psikolog sudah seharusnya tidak membawa kepentingan pribadi, kepentingan agama, golongan, atau ras.

Ketika ditanya, seseksi apa profesi seksolog ini di mata Baby? Ia menjawab bahwa seksolog merupakan profesi yang menarik karena ia bisa bertemu tantangan baru. Terlebih soal perilaku orang yang selama ini dipikir tidak pernah ada. “Dinamis dan sangat misterius,” tandasnya.

“Enggak cuma tantangan. Kami jadi tahu ya bahwa sebetulnya masyarakat yang terlalu represif membicarakan seksualitas, seperti masyarakat Indonesia, justru akan menghasilkan orang-orang yang stres dengan seksualitas dan mencari rilisnya dengan cara masing-masing. Ya, dengan modus-modus perselingkuhan.”

Karena minimnya pengetahuan soal seks, terlebih mengenai profesi seksolog dalam ilmu psikologi klinis, banyak kasus yang seharusnya ditangani seksolog malah lari ke tangan ahli lain. Hal itu tentu membuat keresahan sendiri bagi Baby, menurutnya penanganan yang salah bisa berakibat buruk bagi korban.

“Contohnya kasus-kasus preferensi seksual yang bukan heteroseks. Ada yang dikira orangtuanya dia pakai narkoba, jadi direhab. Ada yang dibawa ke pemuka agama, diruqyah. Ada yang dibawa ke gereja. Itu justru dipermalukan kan, tambah susah, tambah stres dia, trauma. Datang ke seksolog juga harus tahu bahwa ini bukan penyakit yang kelihatan yang bisa diperiksa pakai stetoskop,” papar Baby.

Bahkan, sambung Baby, banyak orang berpikir psikolog itu kerjanya seperti di HRD (Human Resource Development), yakni terkait perekrutan pegawai. Padahal, itu dua jurusan yang berbeda. Ada psikolog profesi klinis, sementara yang bagian HRD itu merupakan psikolog profesi PIO (Psikologi Industri dan Organisasi).

“Dan kami mesti punya pendidikan, kalau enggak dokter medis, ya psikolog klinis. Kalau psikolog klinis kan belajar faal, faal otak sama faal badan. Kalau psikolog industri mereka enggak belajar faal, makanya kami juga belajar statistik.”

Menyoal pendidikan seks, pemerintah sebenarnya punya program melalui Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas. Program ini dibuat untuk meningkatkan pengetahuan anak remaja soal kesehatan reproduksi dan perilaku hidup sehat.

Koordinator dan Pengelola Program PKPR Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu, Ni Made Jendri menyampaikan bahwa program yang digagas pemerintah ini memiliki kegiatan di dalam gedung dan di luar gedung. Untuk kegiatan dalam gedung, lebih kepada pelayanan kuratif atau pengobatan, serta penanganan masalah. 

“Untuk luar gedung, ada KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) terkait remaja, mulai dari tumbuh kembang, gizi, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, Napza (Narkotik, Psikotropika, dan Zat Aditif). Itu bentuknya penyuluhan. Yang kedua adalah konseling. Jadi konseling dilakukan di luar gedung, terutama bagi remaja-remaja yang mempunyai masalah,” papar perempuan yang akrab disapa Made ini.

Kemudian, lanjut dia, yang ketiga adalah pelibatan remaja dalam program atau kegiatan PKPR, dengan menjadikan mereka sebagai pendidik sebaya atau konselor sebaya. Kegiatan lainnya adalah Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) atau life skill education.

Sementara itu, menurut Made, terkait tenaga yang ditempatkan dalam program PKPR ini, sesuai dengan pedoman kementerian, yakni dokter, dokter gigi, perawat, bidan, perawat gigi, ataupun tenaga lain yang memang sudah terlatih.

“Jadi, apakah psikolog bisa? Ya memang seharusnya psikolog, namun karena perekrutan oleh pemerintah untuk psikolog ke Puskesmas belum ada, jadi cukup tenaga yang terlatih untuk PKPR. Setahu saya, di DKI Jakarta belum ada penempatan psikolog di Puskesmas. Tapi di Sleman itu ada, tiap Puskesmas,” jelas Made kepada TopCareer.id.

Ia menambahkan, terkadang ada beberapa psikolog yang menjadi relawan untuk menyumbangkan tenaga dan waktunya ke Puskesmas melalui Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) DKI Jakarta. Dan untuk Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu sendiri, bekerja sama dengan fakultas Psikologi UI, bagi mahasiswa S2 yang hendak magang.

Leave a Reply