TOPCAREER.ID – Permintaan tenaga bidang Information Technology (IT) di Indonesia semakin tinggi. Sayangnya hal itu tak diimbangi dengan ketersediaan tenaga IT yang mumpuni meski sudah tersertifikasi. Ditambah banyaknya lembaga pendidikan yang mengarah pada penjurusan IT dan TIK (Teknologi, Informasi, dan Komunikasi). Lantas apa penyebab supply tenaga IT tak terpenuhi?
Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Telekomunikasi dan Informatika (Telematika), Victor Terinathe setuju bahwa supply tenaga IT dari lembaga-lembaga pendidikan terus bertambah, namun nyatanya tak mampu memenuhi spesifikasi yang diinginkan industri. Menurut survei, kata dia, hal itu lantaran buruknya attitude atau sikap, bukan dari faktor kompetensi.
“Orang itu kalau kita bicara manusia, kualifikasinya ditentukan oleh user. Karena saya di organisasi KPTIK (Komite Penyelaras TIK) juga dan ada 20 asosiasi di situ. Menurut pandangan teman-teman ini, nomor satu mereka menyimpulkan, para pelamar kerja di Indonesia itu jelek di attitude,” kata Victor saat diwawancara TopCareer.id.
Ia menambahkan, hal itu berlaku untuk para fresh graduate yang masih lemah secara kualifikasi kompetensi, juga tak didukung dengan attitude yang baik. Ia menjelaskan, soal kompetensi bisa saja industri atau perusahaan menurunkan spesifikasi kandidat, namun kalau sudah jelek di attitude perusahaan tidak akan bersedia menggunakannya.
“Kalau perusahaan misalnya punya kualifikasi A gitu ya, lalu di pasar setelah dicari A itu enggak ada. Adanya kami membajak. Ya sudah kalau gitu turunin kualifikasinya ke B, tapi dengan catatan attitude-nya bagus dan kami ajarkan dia secara kompetensi,” ujar dia.
“Karena kalau perusahaan ambil dia (tenaga IT attitude buruk) akan masuk training centre tuh, waktu masuk ke training centre kan saya musti expand uang sama dia. Waktu saya expand uang katakanlah dapat sertifikasi dari training provider (pelatihan pengembangan SDM). Terus dapat sertifikasi dari saya, tapi attitude-nya kayak gitu, ya perusahaan enggak mau,” papar Victor.
Ia melanjutkan, tiap industri pasti memiliki parameternya sendiri untuk mengukur orang yang akan masuk ke dalam perusahaannya. Sementara itu, bagi industri pengguna tenaga IT sendiri, sertifikasi merupakan bagian dari pembuktian bahwa sang kandidat memenuhi kompetensi sesuai bidang masing-masing.
“Tahap dua kan personal profiling, ini orang karakternya kayak gimana sih. Tipikal manusia kan ada yang kalau dikasih load pekerjaan dia akan menjadi stres. Atau tipikal orang yang bekerja dalam tim karena terlalu pintar dia enggak bisa menyesuaikan diri dengan timnya. Dalam survei banyak mengatakan bahwa fresh graduate totaly failed di situ,” ucap dia.
Dari kacamata lembaga sertifikasi profesi, kata Victor, yang diperuntukkan kandidat itu ada skill, knowledge, dan attitude. Untuk skill atau kemampuan bisa didapatkan dari sekolah formal maupun informal, begitu pula dengan knowledge. Sementara, attitude tidak serta merta diajarkan di sekolah atau lembaga pendidikan.
“Kalau attitude itu dapatnya dari rumah tangga dan lingkungan. Mendapat sertifikasi dari vendor tidak menjadi jaminan mutu seseorang bisa bekerja di industri. Karena ada faktor attitude tadi, itu sangat diperlukan oleh sebuah organisasi,” tandas laki-laki yang sudah 13 tahun bergelut di bidang sertifikasi ini.
Jadi, tambahnya, sekarang harus bisa membedakan, ada supply dari dunia pendidikan, ada demand dari industri. Kalau kebutuhan industri dan suplly tidak link and match, industri justru akan mencari caranya sendiri untuk mendapatkan orang yang mumpuni. Kalau mereka dapatnya dengan cara outsource, yang dilemahkan adalah tenaga kerja itu sendiri.
“Nah, kalau demand-nya banyak supply-nya enggak ada, dia ngambilnya dari mana? Dari outsource. Outsource itu ngambilnya bukan dari Indonesia, dia ngambil dari India atau Bangladesh kalau untuk tenaga IT,” ucap Victor.
Memang, lanjut Victor, sertifikasi kompetensi sangat membantu dalam kesuksesan kandidat meraih pekerjaan. Namun, kembali lagi ia mengingatkan bahwa sertifikasi merupakan alat pembuktian yang digunakan perusahaan untuk memastikan seseorang memiliki kompetensi yang dinilai layak.
“Tetapi di samping dari kompetensi yang dipastikan itu, si perusahaan pengguna juga punya syarat-syarat nonteknis di luar sertifikasi yang harus dipenuhi kandidat. Sertifikasi sebenarnya dibuat untuk era keterbukaan seperti sekarang, di mana masyarakat pencari kerja dari negara tetangga bisa datang ke negara lainnya, apalagi sekarang sudah MEA (Masyarakat Ekonomi Asean).”
Sementara itu, seberapa besar dunia indsutri ini melek akan kebutuhan sertifikasi? Meski di era kemajuan teknologi, penggunaan sertifikasi di bidang ini masih sangat cair. Artinya tidak menjadi suatu kewajiban atau syarat pasti dalam pembuktian keahlian seseorang ketika terjun ke industri.
Menurut Victor, biasanya industri-industri strategis saja yang mempekerjakan orang di kantornya dengan status wajib certified. Ia menambahkan, ada beberapa profesi yang peletakannya itu menjadi wajib, karena kondisi dari industrinya.
“Contoh nih, industri penerbangan, perkapalan, industri sumber daya energi. Itu mewajibkan orang-orang yang bergelut dalam bidang-bidang itu tersertifikasi. Kalau IT tidak, IT itu bagian dari industri yang sukarela melakukan sertifikasi, boleh dilakukan boleh tidak,” terang Victor.
Victor menambahkan, sertifikasi adalah suatu barang yang tidak dikenal sebelumnya di Indonesia. Apalagi sertfikasi IT ini yang sifatnya sukarela. Profesi-profesi yang tidak diatur wajib ini sangat cair sehingga akan kembali lagi kepada personal masing-masing.
“Mau maju dunia IT kayak gimana juga, sertifikasi itu tidak wajib. Intinya dunia profesional IT itu mempersyaratkan sertifikasi berdasarkan kebutuhan organisasinya. Tidak semua yang bergelut di dalamnya harus certified. Jadi tidak seperti penerbangan, maritim, sumber daya mineral yang ada kewajiban memperoleh sertifikasi,” kata Victor.