Topcareer.id – Kamu tentu tahu soal kasus pelecehan seksual yang menimpa Harvey Weinstein dan menghancurkan karier produser film Hollywood peraih Oscar tersebut. Weinstein ditengarai melakukan pelecehan pada artis-artisnya. Bila ditelisik lagi ke akarnya kasus tersebut bermuara pada perilaku seseorang yang berkuasa, dalam hal ini seorang produser, pada mereka yang ia kuasai (baca: artis-artisnya).
Ketika seseorang berkuasa akan ada efek mendalam dari sudut pandang psikologis. Efek kekuasaan seseorang di tempat kerja misalnya, bisa menimbulkan pelecehan seksual.
Seperti disampaikan Profesor Ben Voyer, profesor pemasaran kreativitas di ESCP Eropa, kekuasaan memiliki konsekuensi dalam 3 hal dari fungsi psikologis. Pertama bagaimana kita memproses informasi, lalu bagaimana mengalami emosi, dan sebagai konsekuensi bagaimana kita berperilaku.
“Individu yang kuat lebih mampu berkonsentrasi pada informasi penting dan tidak terlalu terganggu oleh informasi peripheral (kurang penting). Kekuasaan juga memengaruhi kapasitas kita untuk mengambil perspektif orang lain dan berempati,” kata Voyer dalam Forbes.
Ini adalah sesuatu yang penting dalam memahami pelecehan seksual karena pelaku mungkin kurang mampu memahami emosi korban mereka. Pemegang kekuasaan mengerahkan berbagai jenis perilaku. Individu yang kuat lebih cenderung fokus pada tindakan dan membuat langkah pertama.
Penelitian juga menunjukkan bahwa kekuasaan dapat bertindak sebagai pemicu bagi laki-laki dan perempuan yang cenderung melakukan pelecehan seksual. Ini berarti, kekuatan bukanlah pemicu yang pasti untuk setiap orang, tetapi akan memainkan peran bagi mereka yang memiliki kecenderungan.
Menurut Direktur Eksekutif untuk Catalyst Europe, Allyson Zimmermann, masalah pelecehan seksual yang lebih besar adalah perbedaan kekuasaan yang jelas di puncak organisasi.
“Ketika kamu melihat bahwa ada perbedaan kekuatan dalam suatu organisasi, kamu melihat pelecehan seksual meningkat dan ketika melihat kekuasaan dibagi lintas gender, pelecehan menurun,” ujarnya.
Ada juga bahaya dari pelaku “superstar”. Perusahaan mungkin menemukan diri mereka dalam posisi di mana pelaku pelecehan adalah “superstar” di tempat kerja. Singkatnya, status “superstar” dapat menjadi tempat berkembang biaknya pelecehan.
Sebuah gugus tugas terpilih untuk mempelajari pelecehan di tempat kerja yang ditugaskan oleh Komisi Peluang Kesetaraan Pekerjaan Amerika Serikat menguraikan, para psikolog telah merinci bagaimana kekuatan dapat membuat seseorang merasa tanpa hambatan dan dengan demikian lebih mungkin terlibat dalam perilaku yang tidak pantas.
Zimmermann ingin menunjukkan bahwa perempuan dalam posisi kepemimpinan saja tidak menghalangi perilaku buruk di tempat kerja.
“Tapi itu mencerminkan lingkungan bahwa perempuan bisa dipandang sebagai kolega, bukan mangsa. Ini tentang bagaimana lebih melihat perempuan tidak hanya di perusahaan, tetapi juga di masyarakat secara keseluruhan.” *
Editor: Ade Irwansyah