Topcareer.id – Buzzer alias pendengung sering disebut hari-hari ini. Selepas Pemilu legislatif dan presiden kemarin ternyata aksi buzzer tak surut. Paling anyar, mereka ditengarai turut bergerak menggiring opini di tengah wacana perdebatan seputar RUU KUHP dan revisi UU KPK.
Nyatanya pula, fenomena buzzer bukan khas negeri ini semata. Hasil penelitian Universitas Oxford di Inggris bertajuk “The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Siocial Media Manipulation” (PDF) menunjukkan, pemerintah dan partai politik di berbagai negara di dunia mengerahkan pasukan siber, sebutan lain buat buzzer, di jagat maya, terutama media sosial, untuk memanipulasi opini publik.
Data hasil studi dari 70 negara yang diteliti tahun ini menunjukkan, di setiap negara setidaknya ada satu partai politik atau lembaga pemerintah yang menggunakan sosial media untuk mengarahkan perilaku masyarakat di negaranya.
Menggunakan akun asli dan palsu
Sosial media menjadi alat yang berguna bagi penguasa otoriter. Di 26 negara, propaganda komputasi dipakai sebagai alat untuk mengatur alur informasi.
Ada tiga praktek yang dilakukan: pelanggaran hak asasi manusia, menekan lawan politik, serta menafikan pendapat yang bersebrangan. Menurut penelitian itu juga, Facebook paling banyak digunakan untuk memanipulasi informasi.
Indonesia termasuk salah satu negara yang diteliti Universitas Oxford. Di Indonesia, media sosial yang digunakan para tentara siber adalah Facebook, Twitter, Instagram dan saluran berbagi pesan WhatsApp. Di sini, yang menjadi pelaku tentara siber adalah politisi, partai politik, serta perorangan yang dikontrak parpol atau politisi. Yang bergerak, entah bot (robot) lewat akun-akun palsu maupun manusia dengan akun asli.
Konten yang disebar biasanya berupa dukungan pada kebijakan pemerintah, menyerang mereka yang menentang kebijakan pemerintah, serta kian menggerakkan perbedaan pandangan di masyarakat untuk memecah belah. Wujudnya berupa disinformasi atau informasi palsu.
Kendati begitu, penelitian Oxford mengkategorikan tentara siber Indonesia ke dalam low cyber troop capacity atau tentara siber berkapasitas rendah. Yakni, intensitasnya tinggi hanya saat pemilu. Penelitian yang dirilis September 2019 ini tentu tak mengukur buzzer yang ramai-ramai bergerak saat ricuh KPK kemarin hingga hari ini.
Namun, penelitian ini menyebut tentara siber alias buzzer ini bisa mendapat kontrak dari Rp 1 juta hingga Rp 50 juta. *