Topcareer.id – Dari catatan Indonesia Packaging Federation (IPF), bisnis industri kemasan memang naik dari USD6,8 miliar pada 2018, diperkirakan tahun ini mencapai USD7,2 miliar. Meski naik, sayangnya pertumbuhan ini tak sejaya dahulu.
Direktur Eksekutif IPF, Henky Wibawa menyebutkan total omzet turnover dari industri packaging estimasi di 2019 mencapai Rp 100 triliun lebih, dimana 45 persennya merupakan sumbangsih dari fleksibel packaging.
Menurut dia, memang industri ini tumbuh sekitar 5-6 persen per tahun. Tapi, 10 tahun lalu, pertumbuhannya bisa mencapai 2 digit sekitar 10 persen.
“Kenapa pertumbuhannya turun? Yang paling terasa adalah perubahan gaya hidup hari ini, juga ada kaitannya dengan teknologi yang lama sudah tidak bisa memenuhi lagi,” ucap Henky kepada Topcareer.id, Jumat (20/12/2019).
Industri packaging ini, kata dia, berkaitan dengan sektor consumer goods, pun termasuk dengan keberadaan retail market di tengah masyarakat.
Gaya hidup masyarakat dulu, jika melakukan pembelian barang itu bisa dalam jumlah banyak yang kemudian bisa disimpan atau stok untuk waktu yang lama. Sementara, “anak jaman now” lebih memilih hal simple, termasuk dalam penggunaan dan pembelian barang (consumer goods).
“Coba lihat Indomaret, Lawson, minimarket ini akan tumbuh, karena gaya hidup anak muda hari ini ‘I buy today, I pay today, I used today.’ Jadi, itu yang tumbuh,” tutur Henky.
Perubahan gaya hidup yang didominasi anak milenial itu ikut mengubah packaging produk. Anak milenial lebih mengutamakan produk siap saji. Selain itu, teknologi yang dimiliki saat ini dinilai belum siap untuk memenuhi kebutuhan.
“Jadi ada 6 aspek yang harus digabung menjadi satu, better, faster, smarter, saver, cheaper, greener. Terjadi perubahan gaya hidup, ikut merubah bisnis model, cara teknologi juga berkembang.”
Tekan Cost dan Peran Teknologi
Untuk menghadapi perubahan itu, dan menjaga agar bisnis tetap bertumbuh, mau tidak mau ada biaya yang harus ditekan. Menurut Henky, biaya itu yang kini tengah dicoba untuk diefisienkan. Juga dalam hal tenaga operasional, di mana teknologi akan sangat dibutuhkan.
“Yang saya tidak bisa tekan sampai saat ini adalah kesalahan manusia. Begitu saya salah cetak, itu buang semua. Poin saya yang kedua, soal 3 shift di mana ada yang namanya night shift. Buat saya night shif is nightmare, karena ketika night shift itu productivity turun, kualitas yang kadang-kadang bermasalah.”
Pada akhirnya juga, kata dia, industri ini perlu menerapkan automation di mana bisa berjalan 24 jam dengan kesalahan yang minim. Penggunaan teknologi yang benar di industri ini juga dimaksudkan untuk menekan biaya.