Menikah atau tidak menikah
Pemilihan sudut penceritaan banyak fokus pada Jo juga menegaskan satu hal lain: sejak awal Gerwig percaya sosok Jo adalah alter ego penulisnya. Di filmnya, misalnya, ada adegan Jo menulis buku berjudul Little Women dengan nama pena “L.M. Alcott”. Ini seolah mengaburkan batasan sosok Jo dalam cerita dengan sosok Alcott sebagai penulis asli.
Adegan paling menarik terjadi saat Jo, sebagai penulis Little Women bernegosiasi dengan pihak penerbit, Mr. Dashwood (Tracy Letts).
Mr. Dashwood bertanya, apa karakter utama perempuan di novelnya akhirnya menikah. Jo menjawab tidak. Ia bilang sepanjang cerita di bukunya sang tokoh telah bilang tak mau menikah. Tapi Mr. Dashwood menolak hal tersebut. Katanya tokoh perempuan tak boleh tak menikah. Sebagus apapun sebuah buku akan jadi tak layak terbit bila tokoh wanitanya tak menikah, demikian kata Mr. Dashwood.
Karena alasan itu Jo mengalah. Setelah tawar menawar pembagian royalti ia membolehkan tokohnya menikah. Dengan cerdas, Gerwig membagi adegan itu di layar berganti dengan momen klimaks adegan romantis di novel saat Jo menyambut cintanya. Dengan bolak balik antara kantor penerbit dan momen romantis Jo, penonton seolah diajak menginsafi akhir manis hidup Jo tak lain kesepakatan penulis cerita (baca: Alcott) dengan penerbit.
Baca juga: 1917 dan Kenapa Orang Jarang Ingat Film Perang Dunia I
Keputusan membuat Jo menikah memang tak lain memenuhi pertanyaan pembaca. Little Women edisi pertama terbit dengan akhir menggantung: Meg menikah dengan guru yang sehari-hari mengajari Laurie. Pembaca yang terpikat dengan edisi pertama itu bertanya-tanya, bila Meg menikah, bagaimana dengan Beth dan Amy, dan terutama tokoh yang paling pembaca sayang, Jo? Apakah Jo akhirnya menikah dengan Laurie? Bukankah mereka serasi dan saling jatuh cinta?
Tentu saja, kita tahu, dari baca buku dan nonton filmnya, Alcott membuat kelokan cerita: Beth meninggal, Amy yang dinikahi Laurie dan Jo akhirnya menikah dengan profesor asal Jerman yang ia kenal di New York.
Film Greta Gerwig memperlihatkan pilihan cerita itu tampaknya sebuah kompromi. Buku dengan akhir tokohnya jadi perawan tua takkan ada yang mau beli. Ini juga menggambarkan budaya patriarki yang amat kuat di masa itu.
“Pernikahan selalu jadi persoalan ekonomi, bahkan dalam cerita fiksi,” sindir Jo pada Mr. Dashwood.
Kendati dalam cerita fiksinya ia bersedia berkompromi, Alcott memegang teguh prinsip hidupnya. Hingga akhir hayat ia tak menikah. Perempuan seharusnya punya hak sendiri atas jalan hidupnya, termasuk menikah atau tidak. Menegaskan lagi hal itu adalah pesan terpenting Little Woman versi Greta Gerwig.*