Topcareer.id – Novel Little Women yang terbit tahun 1868-69 telah berkali-kali difilmkan.
Bagi generasi 1990-an, Little Women versi mereka adalah yang dibintangi Winona Ryder, Kirsten Dunst, dan Claire Danes serta Susan Sarandon sebagai Marmee, sang ibu. Atau bagi pecinta film klasik, film Little Women terbaik adalah yang dibintangi Katherine Hepburn saat mulai berkarier dari teater ke film tahun 1930; atau pula versi 1949 yang disutradarai Mervyn LeRoy dan dibintangi June Allyson dan Elizabeth Taylor. Atau malah versi animenya yang dibuat 1987 sebanyak 47 episode.
Sekarang, kita disuguhi lagi versi baru Little Women di layar lebar yang naskahnya ditulis ulang sekaligus disutradarai Greta Gerwig, yang film panjang pertamanya, Lady Bird, melambungkannya sebagai sutradara berbakat.
Kritikus dan pecinta film berkualitas menanti gebrakan berikutnya dari Gerwig. Bertanya-tanya apa bakatnya sekadar “one hit wonder” atau ia memang seorang sineas jenius. Ketika diumumkan ia bakal menulis dan menyutradarai Little Women, sebuah cerita yang telah berulang kali dikisahkan dan semua orang Amerika hapal ceritanya (novelnya jadi bacaan wajib di sekolah), orang penasaran apa lagi hal baru yang hendak ia sampaikan?
Baca juga; REVIEW FILM Birds of Prey, Harley Quinn Keluar dari Bayang-bayang Joker
Little Women ditulis Louisa May Alcott (1832-1888) yang ketika diminta penerbit menulis “cerita cewek” ia menulis kisah yang paling ia kenal, tentang saudara-saudara perempuannya. Oleh sebab itu, novel ini sering disebut novel otobiografis atau semi-otobiografis lantaran terinspirasi dari kisah hidup penulisnya.
Beda novel dengan film versi baru
Novelnya bercerita tentang empat kakak-beradik keluarga March yang tinggal di Massachusetts pada tahun 1860-an saat Amerika dikecamuk Perang Saudara. Mereka hidup bersahaja. Tidak miskin betul, namun kerap kesulitan uang.
Putri tertua di keluarga March adalah Meg yang cantik, keibuan, dan lemah lembut. Dia berusia 16 tahun saat ceritanya di buku dimulai. Adik Meg, Jo, 15 tahun, kutu buku dan tomboi, kebalikan dari Meg ia berperangai sedikit liar. Punya bakat menulis, Jo membuat naskah drama yaang dimainkan saudari-saudarinya, lengkap dengan pedang-pedangan dan kumis palsu.
Lalu ada Beth, 13 tahun: yang paling berhati mulia namun ditakdirkan mati muda. Terakhir Amy, 12 tahun, si bungsu yang selalu ingin menang sendiri. Ayah mereka tengah jauh dari rumah, berada di medan perang bertugas sebagai pendeta. Ibu mereka, yang dipanggil Marmee oleh putri-putrinya, menjadi kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga saat sang suami tak ada. Di seberang jalan tinggal orang tua kaya bersama cucunya yang yatim-piatu, Laurie. Jo akrab dengan Laurie dan kemudian saling jatuh cinta.
Saat bukunya terbit langsung laris. Edisi pertamanya, yang dicetak dua ribu eksemplar, langsung habis dalam waktu dua minggu. Kemudian, ketika edisi pertama masih dicetak ulang, pihak penerbit meminta Alcott menuliskan edisi kedua, bagian penutup cerita. Edisi keduanya juga langsung laris. Sejak itu Little Women tak pernah berhenti dicetak dan terus dibaca orang.
Kebanyakan versi filmnya setia pada alur novelnya. Namun, versi film anyar yang di Amerika rilis Natal kemarin sedikit berbeda. Gerwig membuat terobosan. Ia menyusun ulang ceritanya. Di film, kisah dimulai saat Jo (dimainkan Saoirse Ronan) tengah menapaki karier sebagai penulis di New York. Ia lintang pukang menghidupi diri dan keluarga di kampung halaman dengan menulis cerita picisan dengan nama samaran serta mengajar anak-anak induk semang tempat kosnya.
Baca juga: REVIEW FILM Dolittle, Tontonan Ringan yang Aman untuk Keluarga
Cerita bolak-balik ke momen-momen kunci novelnya. Jo mengenang masa-masa indah saat ia tinggal bersama saudara perempuan dan ibunya. Untuk membedakan masa lalu yang indah dan ketika para tokohnya dewasa, Gerwig memberi nuansa warna berbeda. Untuk cerita masa lalu ia memilih warna-warna ceria, kuning, kemerahan seakan matahari selalu bersinar cerah, sedang masa dewasa dipilihkan warna-warna kelabu.
Pemilihan warna ini juga pernyataan bahasa gambar sang sineas. Masa kecil dan muda ketika kakak-beradik March hidup bersama digambarkan sebagai masa-masa indah, penuh keceriaan; sedang ketika mereka beranjak dewasa dan menjalani takdir hidup masing-masing, bertemu kenyataan hidup yang tak selalu sesuai dengan mimpi dan cita-cita paling pas digambarkan dengan warna kelabu.
Gaya penceritaan yang beda sendiri membuat Gerwig banyak dipuji. Ia dianggap telah memberi nafas baru bagi cerita yang telah akrab bagi banyak orang tanpa berkhianat pada kisah aslinya.
Menikah atau tidak menikah
Pemilihan sudut penceritaan banyak fokus pada Jo juga menegaskan satu hal lain: sejak awal Gerwig percaya sosok Jo adalah alter ego penulisnya. Di filmnya, misalnya, ada adegan Jo menulis buku berjudul Little Women dengan nama pena “L.M. Alcott”. Ini seolah mengaburkan batasan sosok Jo dalam cerita dengan sosok Alcott sebagai penulis asli.
Adegan paling menarik terjadi saat Jo, sebagai penulis Little Women bernegosiasi dengan pihak penerbit, Mr. Dashwood (Tracy Letts).
Mr. Dashwood bertanya, apa karakter utama perempuan di novelnya akhirnya menikah. Jo menjawab tidak. Ia bilang sepanjang cerita di bukunya sang tokoh telah bilang tak mau menikah. Tapi Mr. Dashwood menolak hal tersebut. Katanya tokoh perempuan tak boleh tak menikah. Sebagus apapun sebuah buku akan jadi tak layak terbit bila tokoh wanitanya tak menikah, demikian kata Mr. Dashwood.
Karena alasan itu Jo mengalah. Setelah tawar menawar pembagian royalti ia membolehkan tokohnya menikah. Dengan cerdas, Gerwig membagi adegan itu di layar berganti dengan momen klimaks adegan romantis di novel saat Jo menyambut cintanya. Dengan bolak balik antara kantor penerbit dan momen romantis Jo, penonton seolah diajak menginsafi akhir manis hidup Jo tak lain kesepakatan penulis cerita (baca: Alcott) dengan penerbit.
Baca juga: 1917 dan Kenapa Orang Jarang Ingat Film Perang Dunia I
Keputusan membuat Jo menikah memang tak lain memenuhi pertanyaan pembaca. Little Women edisi pertama terbit dengan akhir menggantung: Meg menikah dengan guru yang sehari-hari mengajari Laurie. Pembaca yang terpikat dengan edisi pertama itu bertanya-tanya, bila Meg menikah, bagaimana dengan Beth dan Amy, dan terutama tokoh yang paling pembaca sayang, Jo? Apakah Jo akhirnya menikah dengan Laurie? Bukankah mereka serasi dan saling jatuh cinta?
Tentu saja, kita tahu, dari baca buku dan nonton filmnya, Alcott membuat kelokan cerita: Beth meninggal, Amy yang dinikahi Laurie dan Jo akhirnya menikah dengan profesor asal Jerman yang ia kenal di New York.
Film Greta Gerwig memperlihatkan pilihan cerita itu tampaknya sebuah kompromi. Buku dengan akhir tokohnya jadi perawan tua takkan ada yang mau beli. Ini juga menggambarkan budaya patriarki yang amat kuat di masa itu.
“Pernikahan selalu jadi persoalan ekonomi, bahkan dalam cerita fiksi,” sindir Jo pada Mr. Dashwood.
Kendati dalam cerita fiksinya ia bersedia berkompromi, Alcott memegang teguh prinsip hidupnya. Hingga akhir hayat ia tak menikah. Perempuan seharusnya punya hak sendiri atas jalan hidupnya, termasuk menikah atau tidak. Menegaskan lagi hal itu adalah pesan terpenting Little Woman versi Greta Gerwig.*