Topcareer.id – Di masa pemerintahan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat lewat U.S. Trade Representative (USTR, Lembaga Perwakilan Perdagangan AS) mengubah daftar negara-negara berkembang dan yang paling tidak berkembang. Ada lusinan negara yang statusnya bukan lagi sebagai negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Hal itu dilakukan AS untuk mengurangi ambang batas yang memicu penyelidikan apakah negara-negara itu merugikan industri AS dengan subsidi ekspor yang tidak adil, menurut USTR.
AS menghapus preferensi khusus untuk daftar negara-negara berkembang yang dideklarasikan sendiri yang meliputi: Albania; Argentina; Armenia; Brazil; Bulgaria; China; Kolumbia; Kosta Rika; Georgia; Hongkong; India; Indonesia; Kazakhstan; Republik Kyrgyzstan; Malaysia; Moldova; Montenegro; Makedonia Utara; Rumania; Singapura; Afrika Selatan; Korea Selatan; Thailand; Ukraina; dan Vietnam.
Baca juga: Sistem Pemerataan Order Ojol Gojek, Baik atau Buruk buat Driver?
Dilansir dari laman The Print, Selasa (11/2/2020), USTR mengatakan keputusan untuk merevisi metodologi negara berkembang itu diperlukan untuk investigasi tugas balasan karena pedoman Amerika sebelumnya, yang dibuat tahun 1998, sekarang sudah usang.
Selama kunjungannya ke Davos, Swiss, bulan lalu Trump mengatakan WTO (World Trade Organization, Organisasi Perdagangan Dunia) tidak memperlakukan Amerika dengan adil.
“China dipandang sebagai negara berkembang. India dipandang sebagai negara berkembang. Kami tidak dipandang sebagai negara berkembang. Sejauh yang saya ketahui, kami adalah negara berkembang juga. “
Tujuan dari preferensi khusus WTO untuk negara-negara berkembang adalah untuk membantu negara-negara miskin mengurangi kemiskinan, menghasilkan pekerjaan dan mengintegrasikan diri mereka ke dalam sistem perdagangan global.
Klasifikasi negara
Jadi, kenapa Indonesia tak tergolong lagi sebagai negara berkembang? Terlebih dulu perlu diketahui bahwa untuk menyelaraskan hukum AS dengan Perjanjian Subsidi dan Tindakan Pengimbang dari WTO, pada 1998, USTR membuat daftar negara yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat perkembangan mereka.
Daftar ini digunakan untuk menentukan apakah mereka berpotensi tunduk pada countervailing duties (CVDs) AS. Aturan 1998 sekarang “usang” sesuai pemberitahuan USTR.
O iya, CVD ini atau bea countervailing, juga dikenal sebagai bea anti subsidi, adalah bea impor perdagangan yang diberlakukan berdasarkan aturan WTO untuk menetralisir efek negatif dari subsidi.
Baca juga: Presiden Jokowi Bahas Langkah Penguatan Neraca Perdagangan
Negara-negara yang tidak diberi pertimbangan khusus, memiliki tingkat perlindungan yang lebih rendah terhadap investigasi CVD. Ada pula kebijakan ambang batas minimum dan tunjangan volume impor lebih longgar untuk negara berkembang dan negara sedikit berkembang.
Artinya, negara yang dikategorikan berkembang memiliki kesempatan untuk menjual lebih banyak ke AS tanpa dikenai macam-macam tarif. Tujuannya, agar negara berkembang kian sejahtera. Namun, efek negatifnya bagi Amerika, Trump merasa itu tidak fair. Karena neraca perdagangan negerinya dengan negara-negara “berkembang” tampak jomplang. Kini negara yang statusnya berkembang dicabut, akan mengalami revisi dalam persyaratan perdagangan.
Sejumlah kelonggaran terkait tarif pasti dicabut. Barang yang diimpor Paman Sam dari Indonesia baka dijual mahal karena pasti akan ada bea tambahan kini ketika masuk AS. Ujungnya, bisa jadi volume ekspor kita ke Amerika akan terkoreksi. Ini harus diantisipasi Pemerintah Indonesia.
India, sampai 10 Februari, masuk dalam daftar negara berkembang. Sekarang telah dihapus dari daftar itu.Daftar baru terdiri dari 36 negara berkembang dan 44 negara kurang berkembang.
Indonesia, bersama dengan Brasil, India, Malaysia, Thailand dan Vietnam dikeluarkan dari daftar karena mereka masing-masing memiliki setidaknya 0,5% bagian dari perdagangan global, meskipun memiliki kurang dari USD12,375 GNI (ambang batas Bank Dunia yang memisahkan negara-negara berpenghasilan tinggi dari yang lain).
Indonesia juga dicoret dari daftar karena – seperti Argentina, Brasil, India, dan Afrika Selatan – Indonesia adalah bagian dari G20.
“Mengingat signifikansi ekonomi global dari G20, dan bobot ekonomi kolektif dari keanggotaannya (yang menyumbang sebagian besar dari output dan perdagangan ekonomi global), keanggotaan G20 menunjukkan bahwa suatu negara dikatakan maju,” kata pemberitahuan USTR. *
Editor: Ade Irwansyah