Topcareer.id – Jatuhnya perekonomian lantaran wabah virus corona membuat industri garmen mengalami penurunan permintaan. Hal itu menempatkan pekerja di seluruh Asia dalam risiko ekonomi yang sulit.
Ketua eksekutif Lever Style, pembuat garmen yang berbasis di Hong Kong, Stanley Szeto mengatakan, di seluruh industri, toko-toko tutup. Hal ini membuat brand dan pengecer mengalami kelebihan pasokan.
“Mereka takut tidak dapat menjualnya, sehingga mereka benar-benar membatalkan pesanan atau menunda pengiriman pesanan. Saya kira tidak ada yang kekurangan kemeja untuk keluar,” kata Szeto, yang juga ketua kehormatan di Dewan Tekstil Hong Kong kepada CNBC.
Menurut Szeto, Asia adalah kunci untuk manufaktur garmen. Risiko pekerjaan yang dialami wilayah ini berpotensi menyebabkan masalah sosial di negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, dan China yang bergantung pada ekonomi ekspor.
“Banyak pabrik di Asia yang pesanannya mengering dalam beberapa minggu,” katanya.
Baca juga: Cegah Covid-19, IPC Imbau Permintaan Pelayanan Kapal dan Peti Kemas Dilakukan Via Online
Garmen di Bangladesh sekarat
Bangladesh misalnya, mereka harus merelakan pesanan senilai USD 2,6 miliar di sektor garmen akibat pembatalan, kata menteri perdagangan Bangladesh kepada CNBC.
Bangladesh sendiri merupakan eksportir pakaian terbesar kedua di dunia di belakang China, menurut lembaga pemeringkat Moody.
Lebih dari 4.600 pabrik garmen di Bangladesh membuat kemeja, T-shirt, jaket, sweater, dan celana panjang. Sebagian besar pakaian dikirim ke Eropa, Amerika Serikat dan Kanada, untuk dijual oleh pengecer lokal di negara-negara tersebut.
“Sudah sangat, sangat sulit berurusan dengan semua keadaan darurat karena kita menghadapi pembatalan setiap hari, hampir setiap menit,” kata Rubana Huq, presiden Asosiasi Produsen & Eksportir Garmen Bangladesh.
Baca juga: Korea Selatan Kirim Bantuan Alat Kesehatan untuk Indonesia
Menurut asosiasi, pakaian jadi berada di kisaran 84,21% dari total ekspor Bangladesh senilai USD 40,5 miliar pada tahun fiskal 2018-2019. Huq memperkirakan pembatalan akan terus berlanjut karena industri sedang menghadapi ketidakpastian total.
“Kami menyerahkan dokumen ekspor dan kemudian kami dibayar. Jika kami tidak dibayar, kami tidak dapat membayar pekerja kami. Ini sulit bagi kami. Bahkan mendapatkan gaji Maret itu sulit, ”kata Huq.
“Kekhawatiran saya adalah, apa yang akan terjadi pada begitu banyak orang. Ada 4,1 juta yang bergerak di sektor garmen, dan kami tidak dapat merawat mereka dengan baik,” tambahnya.
Dia mengajukan banding ke merek-merek fashion internasional awal pekan lalu, mendesak mereka untuk membayar dan menerima barang yang sudah diproduksi.
“Kami ingin para pekerja dibayar, kami ingin mereka aman, dan untuk itu kami membutuhkan brand untuk bereaksi dan merespons pada saat ini, dengan segera,” kata Huq kepada CNBC.
Editor: Feby Ferdian