Find Us on Facebook

Instagram Gallery

Configuration error or no pictures...

SKILLS.ID

Subscribe to Our Channel

Thursday, April 25, 2024
redaksi@topcareer.id
Lifestyle

Kisah Para Pembawa Mayat Korban Virus Corona yang Berjuang demi Uang

Di setiap rumah, suara yang akrab menyapa Cerpa dan Vargas adalah suara keluarga menangis tersedu-sedu, menangis karena kehilangan orang yang mereka cintai. Mereka berusaha keluar-masuk rumah secepat mungkin sambil bersikap hormat.

Sebagian besar jenazah yang mereka kumpulkan berasal dari lingkungan yang miskin, dari rumah-rumah di mana orang tidak mampu menyewa lahan pemakaman untuk mengubur jenazah. Ada lebih dari 13.000 kematian akibat Covid-19 di sana.

Mereka mengisahkan pernah mengurus kematian salah seorang di keluarga miskin, Raul Oliveras (63) yang kala itu memanggil ambulans ketika Oliveras jatuh sakit karena gejala Covid-19. Tapi ambulans tidak pernah tiba dan keluarga pun hanya bisa menyaksikannya mati di rumah.

Malam itu, Vargas dan Cerpa datang dan dengan sigap meraih jenazah dari tempat tidur untuk diangkat. Ketika anjing-anjing tetangga menyalak dan keluarga berduka di jalanan yang gelap, Vargas dan Cerpa memasukkan mayat Oliveras ke dalam kantong mayat hitam dan membawanya ke belakang van mereka untuk dibawa ke krematorium.

Baca Juga: AS Siapkan Pulau Hart Jadi Tempat Pemakaman Korban Covid-19

Di krematorium Pemakaman El Angel, banyak staf yang juga warga Venezuela. “Orang Peru tidak mau melakukannya. Ini sulit,” kata Orlando Arteaga, yang bekerja tujuh hari seminggu, demi mendapatkan uang yang dia butuhkan untuk menghidupi tiga anaknya di Venezuela.

Arteaga (40) bertanggung jawab atas oven yang beroperasi secara konstan untuk mengkremasi mayat. “Ini bahkan belum semua mayat. Masih ada mayat di tempat lain, karena tidak ada ruang, dan kita tidak bisa meninggalkan mereka di luar,” katanya. “Aku tidak akan berharap pekerjaan ini menjadi musuh terburukku,” tambahnya.

Menjelang malam, Vargas dan Cerpa telah mengumpulkan dan mengirim lebih dari selusin mayat. Mereka lelah, tetapi pekerjaan mereka belum selesai. Sekitar pukul 11 ​​malam, telepon terakhir mereka datang dari Rumah Sakit Villa Maria del Triunfo. Staf meminta mereka berdua untuk mengumpulkan 13 mayat, karena kamar mayat RS sudah penuh.

Cerpa dan Vargas tiba di rumah sakit dan menunggu dokumen. Dengan masker dan sarung tangan dilepas, mereka beristirahat dan makan beberapa potong ayam dari wadah styrofoam sambil menunggu. Beginilah mereka menyempatkan diri beristirahat.

Hari-hari yang melelahkan ini telah menjadi norma bagi mereka. “Kadang kita sampai di rumah jam 2 pagi atau jam 3 pagi. Setelah kita mandi dan makan sudah jam 4 pagi,” kata Cerpa. “Kita bangun lagi dan harus pergi bekerja kembali jam 8 pagi. Kemudian semuanya sama lagi sampai hari berikutnya.”

Hari-harinya untuk mencampur koktail bagi turis yang bersenang-senang mungkin akan berlalu seumur hidup. Namun dia berkata dia bahwa dirinya telah belajar sesuatu yang penting tentang hidup setelah dikelilingi oleh kematian. “Sekarang saya hidup setiap hari seolah-olah itu adalah hari terakhir saya.”**(RW)

the authorRino Prasetyo

Leave a Reply