Topcareer.id – Negara ini mendapatkan perhatian global setelah mengalami gelombang pertama COVID-19 dengan apa yang disebut sebagai “Japan Model” dengan pengujian terbatas dan tidak ada lockdown, atau hukum apa pun untuk memaksa bisnis tutup.
Menteri Keuangan negara itu bahkan menyarankan “standar budaya” yang lebih tinggi akan membantu mengatasi penyakit ini.
Tapi sekarang Jepang menghadapi kebangkitan gelombang virus corona yang hebat, dengan COVID-19 kasus mencapai rekor nasional hari demi hari. Infeksi pertama yang terkonsentrasi di ibukota telah menyebar ke daerah perkotaan lainnya, sementara daerah tanpa kasus selama berbulan-bulan telah menjadi hotspot baru.
Baca Juga: Sekjen PBB: Dunia Hadapi ‘Bencana Generasi’ Bidang Pendidikan
Demografi pasien yang semula orang-orang muda yang cenderung tidak jatuh sakit telah meluas ke orang tua. Para ahli mengatakan bahwa fokus Jepang pada ekonomi mungkin adalah penyebabnya.
Seperti negara-negara lain di Asia, yang mengalami pandemi virus corona lebih awal, Jepang bergulat dengan gejolak baru COVID-19. Jepang sekarang berisiko menjadi peringatan bagi negara lain untuk apa yang terjadi ketika suatu negara bergerak terlalu cepat untuk melakikan normalisasi dan tidak menyesuaikan strateginya ketika wabah terus berubah.
Sementara Jepang menyatakan keadaan darurat untuk menghadapi gelombang pertama virus corona, negara itu tidak memaksa orang untuk tinggal di rumah atau menutup bisnis. Keadaan darurat selesai pada akhir Mei lalu dan para pejabat dengan cepat beralih pada pembukaan ekonomi sepenuhnya dalam upaya membuat resesi ekonomi kembali ke jalurnya.
Baca Juga: Perkantoran Jadi Klaster Baru Covid-19, Ini Tempat yang Harus Diwaspadai
Jepang mungkin terlalu dini dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan di tengah pandemi, kata para ahli.
“Ini adalah hasil dari pemerintah memprioritaskan kegiatan ekonomi dengan membuat orang bergerak lagi untuk mengendalikan infeksi,” kata Yoshihito Niki, seorang profesor penyakit menular di Fakultas Kedokteran Universitas Showa.
Sejumlah faktor berkontribusi pada kebangkitan wabah di Jepang, menurut para pakar kesehatan masyarakat. Keadaan darurat mungkin telah dilepas terlalu dini, sebelum infeksi cukup melambat.
“Pemerintah seharusnya memiliki strategi yang tepat untuk mengendalikan penularan secepat mungkin,” kata Kenji Shibuya, seorang profesor di King’s College London dan mantan kepala kebijakan kesehatan di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Baik Hong Kong dan Australia bertindak sangat cepat dan berusaha untuk mengatasinya secepat mungkin, dengan melakukan tes yang diperluas dan menjaga jarak sosial dengan agresif termasuk lockdown dengan aturan yang keras.
Baca Juga: Bisakah Vitamin D Turunkan Risiko Terinfeksi Covid-19?
Meskipun Jepang memahami lebih awal dari banyak negara Barat bahwa virus itu lebih mungkin menyebar melalui tetesan di udara, dan memperingatkan penduduk untuk menghindari kondisi yang padat dan tidak berventilasi, itu tidak cukup untuk mengubah perilaku individu ketika pembatasan dicabut.
Memang setiap orang terus memakai masker selama pandemi, namun infeksi saat ini sebagian besar terjadi dalam situasi di mana penutup wajah biasanya tidak dipakai, seperti acara makan dan minum secara berkelompok.
Tidak seperti Selandia Baru, Jepang tidak pernah berbicara tentang menghilangkan patogen. Para ahli mencoba untuk mendorong Jepang melakukan “cara hidup baru” dan membahas tentang era di mana orang hidup berdampingan dengan virus.
Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi contoh bagi setiap orang di Indonesia agar tidak menyepelekan virus corona (COVID-19) dan terus disiplin menjalankan protokol kesehatan dari pemerintah maupun WHO.**(RW)