Topcareer.id – Dalam sistem kerja yang menerapkan kebijaksanaan konvensional, karyawan akan selalu dituntut untuk membuat laporan kinerja yang lebih sering, apalagi ketika tim bekerja dari jarak jauh. Penelitian baru menunjukkan strategi ini sebenarnya tampak bodoh.
Menurut penelitian baru yang yang dilakukan di University of Illinois dan diterbitkan dalam The Accounting Review, semakin sering manajer meminta laporan status dari karyawan mereka, semakin kurang efektif karyawan tersebut.
“Pelaporan kinerja sering memiliki implikasi pada motivasi dan kinerja negatif, ketika karyawan mengetahui atau berasumsi bahwa informasi yang mereka laporkan itu akan digunakan untuk mengevaluasi keterampilan terkait tugas mereka,” kata laporan itu, dikutip dari laman Inc.
“Frekuensi tinggi berfungsi untuk meningkatkan kecenderungan individu untuk fokus menghindari penilaian kompetensi yang tidak menguntungkan daripada, mengembangkan kompetensi untuk pekerjaan yang ada.”
Baca juga: Begini Cara Bank Indonesia Dukung Program Kampus Merdeka Kemdikbud
Ternyata, ketika pengawasan manajemen meningkat, karyawan menjadi lebih cemas, menyebabkan tujuan utama mereka beralih dari “menyelesaikan pekerjaan” menjadi “menghindari karena dianggap tidak kompeten”. Dan inilah hal yang tidak terduga lainnya:
“Kinerja sangat terpengaruh meskipun 1, sebagian besar peserta tidak tahu administrator yang melaporkan skor mereka dan 2, konsekuensi dari tampil tidak kompeten, malah bikin lemah.”
Jadi, mereka yang diminta untuk melapor hanya sekali mendapatkan rata-rata hampir sepertiga lebih banyak jawaban yang benar daripada mereka yang diminta untuk melaporkan tiga kali. Dengan kata lain, mengganggu karyawan dengan laporan lebih sering akan membuat 33 persen lebih banyak kesalahan.
Orang hanya dapat membayangkan efek buruknya jika karyawan mengenal seorang manajer secara pribadi dan percaya bahwa mereka akan kehilangan kredibilitas jika laporan status apa pun tak bersinar.**(Feb)