Topcareer.id – Terapi COVID-19 yang terbuat dari campuran dua jenis antibodi efektif melawan berbagai varian virus corona, Senin (21/6).
Hal ini ditemukan dalam penelitian pada hewan tikus dan hamster di Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St. Louis.
Antibodi digunakan untuk mengobati kasus COVID-19, seringkali di awal proses. Mantan Presiden AS Donald Trump dirawat dengan koktail antibodi oleh Regeneron Pharmaceuticals.
Studi terbaru termasuk tiga dari empat varian yang telah ditetapkan sebagai “varian yang menjadi perhatian” oleh Organisasi Kesehatan Dunia.
Variannya adalah Alpha yang pertama kali diidentifikasi di Inggris, Beta, dari Afrika Selatan, dan Gamma ditemukan di Brazil.
Serta varian yang kini semakin meluas ke seluruh dunia dan sangat menular dari India, Delta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS pada bulan April mencabut izin penggunaan darurat terapi antibodi tunggal Eli Lilly, bamlanivimab.
Alasannya ada peningkatan sirkulasi varian yang resisten terhadap terapi bila digunakan sendiri.
Penelitian lain sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa terapi kombinasi antibodi ampuh melawan varian virus corona yang muncul dan resisten terhadap terapi antibodi tunggal.
Baca juga: Perbedaan Varian Virus Alpha, Beta, Delta dan Gama?
Studi terbaru menemukan bahwa kombinasi dua antibodi sering mempertahankan potensi melawan varian bahkan ketika salah satu dari dua antibodi kehilangan kemampuan untuk menetralkan varian virus dalam studi laboratorium.
Penelitian yang dilakukan pada tikus dan hamster, menguji semua terapi antibodi tunggal dan kombinasi yang diizinkan untuk penggunaan darurat oleh FDA terhadap varian virus internasional.
Para peneliti mengevaluasi terapi kombinasi resmi FDA yang dibuat oleh Regeneron dari Eli Lilly dan terapi antibodi tunggal, sotrovimab dari Vir Biotechnology Inc serta GlaxoSmithKline Plc.
Mereka juga menilai antibodi yang saat ini masih dalam uji klinis oleh AbbVie Inc, Vir dan AstraZeneca.
“Resistensi muncul dengan beberapa monoterapi, tetapi tidak pernah dengan terapi kombinasi,” tulis rekan penulis studi Jacco Boon.**(Feb)