Topcareer.id – Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati mengatakan, kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es yang dapat terjadi kepada siapapun dan dimanapun, termasuk di tempat kerja.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), telah terjadi 7818 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 7917 korban sepanjang Januari-Oktober 2021.
Tempat kerja pun menjadi salah satu lokasi rentan terjadinya kekerasan, yaitu 156 pelaporan. Tak hanya itu, sebanyak 79 korban mengalami kekerasan oleh rekan kerjanya dan 29 korban oleh majikannya.
Ratna menilai perlu dilakukannya penyelesaian secara komprehensif dari hulu ke hilir untuk melindungi pekerja perempuan dari kekerasan, baik itu fisik, psikis, seksual, dan lain sebagainya. Pada 2019, Kemen PPPA mulai mencanangkan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) guna memberikan jaminan hak perlindungan perempuan.
“Kemen PPPA menginisiasi adanya ruang perlindungan khusus perempuan, yaitu RP3. Ini menjadi wadah untuk perusahaan-perusahaan bisa memberikan perlindungan kepada pekerja perempuan,” kata Ratna dalam siaran pers, Sabtu (27/11/2021).
“Ini juga menjadi salah satu komitmen dari Menteri PPPA untuk memastikan perlindungan pekerja perempuan tidak hanya dilakukan pada saat perempuan bekerja, tetapi juga pada saat mereka di luar pekerjaannya,” lanjut dia.
Baca juga: Berlibur Ke Singapura Tanpa Harus Karantina? Begini Caranya!
Ratna menyebutkan, saat ini RP3 sudah ada di enam titik di Indonesia, di antaranya Cakung, Bintan, Cilegon, Pasuruan, dan Musi Banyuasin. Lebih lanjut, Ratna menegaskan, pembentukan RP3 oleh Kemen PPPA ini tidak hanya untuk merespon kekerasan yang telah dialami oleh pekerja perempuan, melainkan juga sebagai bentuk pencegahan terjadinya kekerasan.
Meski begitu, Ratna meminta dukungan seluruh pihak untuk dapat memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan, khususnya di tempat kerja.
Di sisi lain, Eksekutif Direktur Bullyid Indonesia, Agita Pasaribu mengatakan, terdapat tiga hal penting yang perlu dibangun dalam sistem pelaporan korban kekerasan, terutama bagi perempuan bekerja.
Pertama, perlu dibangunnya kultur agar korban dan saksi berani untuk melaporkan kejadian kekerasan yang dialaminya di lingkungan kerja.
“Kulturnya dulu yang dibangun, speak up ini bukan hanya untuk korban, tapi juga dari bystander (saksi) yang mau jadi upstander (pembela). Kemudian, bagaimana caranya orang merasa nyaman ketika melapor, seperti adanya sistem anonymous. Terakhir, karena saat ini kita bekerja dari rumah, bagaimana pelaporan ini bisa diakses secara online,” tutup Agita.