Topcareer.id – Siapa yang tak ingin memiliki work-life balance dalam kehidupannya? Pekerja di belahan dunia manapun ingin mewujdkan hal ini. Namun, menurut pakar, sebagian besar negara di Asia, enam hari kerja dalam seminggu masih menjadi norma.
“Itu karena kerja keras sangat terkait dengan kesuksesan,” kata James Root, partner dan co-chairman di Bain Futures, sebuah think tank di perusahaan konsultan Bain & Company, dikutip dari laman CNBC Make It.
“Asia adalah rumah bagi beberapa negara dengan jam kerja yang terkenal panjang — Korea Selatan, Cina, dan Jepang, misalnya. Namun, perusahaan di seluruh dunia, termasuk Asia, terus mencari cara untuk menjadikan (kantor) tempat yang lebih memuaskan untuk bekerja.”
Ada banyak upaya menuju work-life balance, mulai dari waktu libur tak terbatas, opsi kerja dari rumah, hingga yang sedang tren yakni kerja empat hari dalam seminggu.
Asia Tenggara
Karyawan dari Singapura, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Indonesia tertarik untuk menerapkan empat hari kerja dalam seminggu, menurut survei yang diterbitkan pada bulan Februari oleh perusahaan riset Milieu.
Lebih dari tiga dari empat orang Singapura (76%) menyatakan minat yang besar pada pekerjaan yang menyediakan akhir pekan tiga hari.
“Di ekonomi yang matang seperti Singapura, ini mulai menjadi tentang kualitas hidup dan apa artinya pekerjaan,” kata Jaya Dass, Direktur Pelaksana di agen perekrutan Randstad Singapura.
Banyak karyawan di Singapura tidak menginginkan kehidupan yang mereka jalani untuk bekerja, tetapi mereka bercita-cita untuk memiliki kehidupan dan pekerjaan untuk mempertahankannya.
Baca juga: ASN Yang Dipindahkan Ke IKN Bakal Dapat Tunjangan Tambahan
Memiliki keseimbangan kehidupan kerja, gaji dan tunjangan yang baik adalah aspek pekerjaan yang paling berharga bagi karyawan di city-state, menurut laporan tahun 2021 oleh Randstad.
Dass mengatakan karyawan Singapura tidak lagi siap untuk menyerahkan kehidupan pribadi mereka demi karier mereka. Tetapi karena tingginya biaya hidup di city-state, banyak yang tidak setuju dengan pengurangan jam kerja jika itu berarti harus menerima pemotongan gaji.
Kurang diminati sebagian lainnya
Tidak semua pekerja Asia Tenggara begitu antusias dengan minggu kerja yang lebih pendek. Hanya 48% orang Malaysia yang sangat tertarik dengan ide tersebut, dan 41% lainnya tidak setuju, menurut survei Milieu.
“Myanmar dan Kamboja, di mana banyak pekerja memegang pekerjaan kerah biru, menunjukkan minat yang lebih sedikit,” kata Dass dalam sebuah wawancara online.
Keinginan untuk keseimbangan kehidupan kerja di negara-negara ini lebih rendah karena, di ekonomi ini, jam kerja yang lebih lama sering menghasilkan lebih banyak uang, katanya.
Di negara berkembang, karyawan sering ingin bekerja sekeras mungkin, kata Dass. Mentalitasnya adalah: “Jika saya harus mati bekerja, saya akan melakukannya. Itu berarti saya bisa menghasilkan uang. Saya bisa membeli properti saya. Saya bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga saya,” katanya.