Topcareer.id – Untuk berhasil melewati seleksi kompetitif masuk universitas kelas dunia bukanlah perkara mudah. Tahapan seleksi di universitas kelas dunia, seperti Universitas Oxford, Universitas Cambridge, MIT atau Universitas Stanford, mensyaratkan standar yang tinggi.
Berbeda dengan sistem pendidikan Indonesia yang mengutamakan pencapaian akademis, sistem pendidikan di Amerika Serikat (AS) dan Inggris–yang menaungi sebagian besar universitas kelas dunia–cenderung bersifat holistik.
Dengan pendekatan holistik inilah calon mahasiswa akan dinilai admissions officer (petugas seleksi universitas) secara utuh sebagai seorang individu yang memiliki minat, bakat, dan karakter yang unik.
Dari penilaian tersebut, admissions officer kemudian dapat mempertimbangkan nilai dan manfaat yang dapat calon mahasiswa tersebut kontribusikan kepada universitas pilihannya.
Vanya Sunanto, Country Manager, Indonesia di Crimson Education mengatakan, konsultan pendidikan ternama yang menyediakan bimbingan seleksi penerimaan universitas-universitas kelas dunia, mempersiapkan profil pelajar Indonesia agar siap bersaing dengan puluhan ribu pelajar dari seluruh belahan dunia memerlukan proses yang panjang.
“Untuk menembus universitas-universitas seperti Ivy League, Stanford, MIT, Oxford, atau Cambridge, kelas 9 atau setara dengan kelas 3 SMP adalah waktu yang paling ideal bagi pelajar Indonesia untuk mulai mempersiapkan diri,” kata Vanya dalam siaran pers, dikutip Kamis (22/12/2022).
Baca juga: Mahasiswa Bersiap! Program Bangkit 2023 Hadir Dengan Kuota 3 Kali Lebih Banyak
Ia menambahkan, sebagai langkah awal, mulailah dengan menjaga nilai rapor agar tetap baik, sembari mengeksplorasi kegiatan di luar sekolah yang diminati, misalnya kompetisi debat berbahasa Inggris, kompetisi Model United Nations (simulasi sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa), atau kursus coding (pemrograman).
Menurutnya, di mata admissions officer, profil ekstrakurikuler yang kuat tidak hanya menandakan kesungguhan siswa dalam bidang yang ia minati, tetapi juga bukti komitmen dan konsistensi siswa dalam mengembangkan bakatnya tanpa mengabaikan pencapaian akademisnya.
Sayangnya, hal ini kerap luput dari perhatian pelajar Indonesia. Vanya Sunanto mengakui bahwa hal ini disebabkan oleh persepsi kegiatan ekstrakurikuler di Indonesia dengan di Amerika Serikat dan Inggris memang berbeda, tetapi bukan berarti pelajar Indonesia memiliki kesempatan yang kecil untuk dapat melanjutkan studinya di kedua negara tersebut.
“Pengembangan profil ekstrakurikuler harus dimulai dari eksplorasi minat dan bakat siswa, karena kegiatan yang dilakukan dengan sepenuh hati dapat membuahkan dampak yang positif.
Profil yang solid tidak berarti sang siswa harus menjadi siswa segala bisa, ia hanya perlu mendalami dua atau tiga kegiatan yang berkesinambungan dan mendemonstrasikan nilai-nilai kepemimpinan di dalamnya.
“Bagi pelajar Indonesia, mungkin ini terdengar tidak mudah, tetapi di sinilah peran Crimson Education yang siap membantu mengembangkan profil ekstrakurikuler pelajar Indonesia demi berhasil menembus universitas kelas dunia,” papar Vanya Sunanto lebih jauh.
Crimson Education tidak sekadar memberi bimbingan kepada pelajar Indonesia yang bercita-cita melanjutkan studinya di luar negeri, tetapi juga menawarkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang dapat mematangkan profil pelajar Indonesia, di antaranya PwC Global Case Competition yang merupakan business case competition berbasis virtual terbesar di dunia bagi pelajar berusia 13-18 tahun.