Topcareer.id – Penghitungan pajak penghasilan atau PPh pasal 21 yang baru sudah berlaku mulai Januari 2024. Namun, keluhan makin banyak datang dari pekerja ketika penghitungan ini diterapkan bertepatan dengan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).
Penghitungan PPh Pasal 21 terbaru menggunakan skema Tarif Efektif Rata-rata (TER), yang membuat pekerja mengeluhkan pembayaran pajak melonjak bulan ini. Apalagi jika dalam satu bulan gaji, ada penerimaan THR atau bonus (insentif). Penghitungan ini dianggap menambah beban pajak terhadap THR.
Namun, menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Dwi Astuti, penghitungan PPh Pasal 21 dengan skema TER ini sesuai dengan praktik internasional.
“Kenapa kita pake TER itu sesuai dengan international best practice. Itu kan kita dapat allowance kerja dan sebagainya, atau kerja di luar negeri, pas di akhir tahun lalu ada yang masuk ke rekening kita, ternyata kita lebih bayar,” kata Dwi Astuti dalam media briefing, dikutip Antara, Senin (1/4/2024).
Jika menurut Dirjen Pajak, perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dilakukan dengan dua metode. Yang pertama, masa pajak Januari hingga November dihitung dengan TER bulanan yang dikalikan dengan penghasilan bruto.
Kedua, perhitungan masa pajak terakhir dilakukan dengan menggunakan tariff progresif sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 hingga berubah menjadi UU Ciptaker, yang dikalikan dengan penghasilan kena pajak.
Kedua metode itu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi (PMK 168/2023).
“Dalam konteks ini, penghitungan PPh Pasal 21 atas bonus atau Tunjangan Hari Raya (THR) juga dipengaruhi,” tulis DJP di laman resminya.
Baca juga: Memahami TER Pada Sistem Penghitungan Baru PPh Pasal 21
Contoh perhitungan PPh Pasal 21
Jadi, apabila seorang pegawai tetap menerima penghasilan yang tidak teratur dalam suatu masa pajak, penghasilan tersebut akan dimasukkan ke dalam penghasilan bruto.
Untuk menetapkan jumlah PPh Pasal 21 yang harus dibayarkan, penghasilan bruto kemudian dikalikan dengan Tarif Efektif Rata-Rata (TER), dalam hal ini tarif efektif bulanan, yang sesuai dengan status Perkiraan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari pegawai tetap yang bersangkutan.
Seorang pegawai tetap yang berstatus kawin tanpa tanggungan (K/0) dan bekerja penuh selama satu tahun memiliki gaji bulanan sebesar Rp10 juta. Dia juga menerima THR sebesar Rp10 juta pada bulan April 2024. Terdapat premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) sebesar Rp80.000 per bulan.
Sebelum bulan April, pegawai tersebut hanya menerima gaji bulanan sebesar Rp10 juta. Perhitungan pajak dilakukan dengan mengurangi total penghasilan Rp 10 juta dengan premi JKK dan JKM Rp 80.000, kemudian mengalikannya dengan Tarif Efektif Rekayasa (TER) Bulanan sebesar 2,25%. Hal ini menghasilkan PPh Pasal 21 sebesar Rp226.800 per bulan.
Namun, perhitungan pajak berubah saat pegawai menerima THR sebesar Rp 10 juta di bulan April. TER Bulanan yang dikenakan naik menjadi 9%. Sehingga, pajak terutangnya sebesar Rp 1.807.200.
Jumlah ini dihasilkan dari tarif pajak 9% yang dikenakan pada total pendapatan bulan April sebesar Rp 20 juta setelah dikurangi premi JKK dan JKM sebesar Rp 80.000. Kamu juga bisa menggunakan Kalkulator Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak melalui laman kalkulator.pajak.go.id.