TopCareerID

Laksamana Maeda, Perwira Jepang dalam Sejarah Proklamasi RI

Laksamana Tadashi Maeda (Wikimedia Commons)

TopCareer.id – Nama Laksamana Maeda terselip dalam buku-buku sejarah yang menceritakan tentang detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Literatur mencatatnya sebagai salah satu orang Jepang yang punya andil dalam terlaksananya proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Laksamana Muda Tadashi Maeda, lahir pada 3 Maret 1898 di Kagoshima, Jepang. Mengutip esi.kemdikbud.go.id, ia merupakan keturunan keluarga samurai Satsuma. Ayahnya berprofesi sebagai kepala sekolah di Kajiki.

Saat berusia 18 tahun, Maeda menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Laut Jepang dan mengambil spesialisasi navigasi kapal laut. Di 1930, ia berpangkat letnan satu dalam Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.

Laksamana Maeda kemudian menjabat sebagai perwira tinggi Angkatan Laut Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Pasifik.

Baca Juga: Abdul Muis, Sang Pahlawan Nasional Pertama Indonesia

Di Indonesia, Maeda berhubungan baik dengan beberapa tokoh seperti Ahmad Subardjo dan A. A. Maramis, di samping beberapa pemuda yang bekerja di kantornya.

Maeda dan Soebardjo sendiri sudah kenal sejak di Den Haag, Belanda, dan Berlin, Jerman pada 1930. Kala itu, Soebardjo aktif di Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda.

Mengutip Indonesia.go.id, Soebardjo menjadi wakil Indonesia bersama Mohammad Hatta dalam Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah di Brussels, Belgia dan Jerman. Saat itu Maeda sempat menjadi atase pertahanan Kedutaan Besar Kekaisaran Jepang di Belanda dan Jerman.

Maeda adalah salah satu dari sedikit perwira militer Jepang yang bersimpati dengan perjuangan pemuda-pemuda Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan.

Ia tidak keberatan kantornya digunakan Soebardjo dan kawan-kawan untuk melakukan pertemuan kecil-kecilan.

Ini berawal saat Maeda membentuk Jakarta Kaigun Bukanfu, untuk memperoleh dukungan massa melalui tokoh-tokoh nasionalis Indonesia, demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. Setelah itu, ia membentuk Asrama Indonesia Merdeka di kawasan Kebon Sirih, Jakarta.

Gedung asrama ini ditujukan untuk kaderisasi para calon pemimpin Indonesia merdeka, pada masa menjelang proklamasi kemerdekaan.

Pendirian asrama ini tidak disukai dan ditentang oleh Angkatan Darat Jepang. Namun Maeda berhasil mempertahankannya dan menjamin tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia yang bergabung di asrama tersebut, bersama dengan Nishijima dan Yoshizumi Tomegoro, dari pengawasan Polisi Militer Jepang (Kempetai).

Jelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Maeda menyediakan kediamannya di Jl. Imam Bonjol No. 1, Jakarta Pusat, sebagai tempat penyusunan naskah proklamasi oleh Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, serta juru ketik Sayuti Melik. Ia bahkan menjamin keamanan mereka pada malam itu.

Rumah Laksamana Maeda, yang merupakan Kepala Kantor Perhubungan Angkatan Laut, dinilai cukup aman. Pertimbangan lain adalah kedekatannya dengan beberapa tokoh Indonesia.

Ruang makan di rumah Maeda itu menjadi tempat dirumuskannya Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sementara, sang tuan tidur di lantai dua.

Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, hadir bersama Mbah Diro, B.M. Diah, dan Sukarni menyaksikan Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo membahas perumusan Naskah Proklamasi. Sementara tokoh-tokoh lainnya, baik golongan tua maupun pemuda menunggu di beranda.

Saat tentara sekutu tiba di Indonesia pada September 1945, Maeda dan stafnya, Shigetada Nishijima, dijebloskan ke Penjara Glodok dan Rutan Salemba. Mereka dipaksa menyatakan Republik Indonesia merupakan buatan Jepang. Namun Nishijima mengatakan, walau ia disiksa sampai kencing darah, dia tetap tidak akan mengakuinya.

Maeda lalu dipulangkan ke Jepang. Ia pun mundur dari dunia politik dan jabatannya, bahkan sempat ditahan dengan tuduhan membantu kemerdekaan Indonesia. Dia juga sempat disidang karena dianggap mencoreng harga diri Jepang, meski akhirnya bebas. Dia lalu memilih menjadi warga sipil dan hidup miskin, tanpa fasilitas negara.

Pada 17 Agustus 1973, Maeda diundang pemerintah Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia Tokyo, untuk menerima Tanda Kehormatan Bintang Jasa Nararya. Pada 13 Desember 1977, ia meninggal dunia.

Exit mobile version