TopCareer.id – Di banyak daerah di Indonesia, nama jalan Jenderal Soedirman sangat mudah untuk ditemui. Hal tersebut karena nama sang Panglima Besar ini sangat terkenal di Tanah Air, termasuk jasa-jasanya sebagai Pahlawan Nasional banyak tercatat di sejarah nasional.
Soedirman atau Panglima Besar Soedirman, lahir pada 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah.
Ayahnya, Karsid Kartowiraji, adalah petani di Desa Gentawangi, Jatilawang, yang kemudian bekerja sebagai buruh pabrik gula di Kalibogor, lalu pindah ke Dukuh Rembang sebagai petani. Karsid keluar dari pabrik gula karena tidak cocok bekerja dengan Belanda. Sementara ibu Soedirman adalah Siyem.
Mengutip esi.kemdikbud.go.id, saat bayi Soedirman diangkat oleh pamannya, Raden Tjokrosunarjo, seorang Camat atau Asisten Wedana Kecamatan Rembang. Hal ini karena keluarganya terhimpit secara ekonomi.
Baca Juga: Rohana Kudus, Wartawan Perempuan yang Jadi Pahlawan
Saat pensiun dari jabatannya sebagai camat, Raden Tjokrosunarjo beserta keluarga dan Soedirman pindah ke Cilacap. Saat kecil Soedirman tidak tahu dirinya anak angkat.
Raden Tjokrosunarjo dan orang tua kandungnya tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Sudirman baru tahu dia anak angkat ketika Raden Tjokrosunarjo memberitahukan hal itu beberapa saat sebelum meninggal dunia pada 1934.
Soedirman masuk Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Cilacap pada 1923. Kemudian, ia menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) Wiworotomo pada 1932.
Di sekolah Soedirman aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo. Di sanalah dia ikut kegiatan seperti pertemuan organisasi, kesenian dan olahraga, hingga baris-berbaris. Ia menyenangi baris-berbaris dan tidak jarang ia diminta untuk menjadi komandan.
Lulus dari MULO di 1935, Soedirman masuk organisasi kepanduan Hizbul Wathon, salah satu organisasi Islam yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme.
Kesulitan ekonomi keluarga Soedirman usai Cokrosunaryo meninggal membuatnya sulit melanjutkan sekolahnya usai lulus dari Wiworotomo. Dia kemudian masuk Muhammadiyah Solo namun hanya bertahan satu tahun, karena ibu angkatnya tak punya biaya.
Namun di 1936, Soedirman kembali ke Cilacap dan diangkat sebagai guru di H.I.S. Muhammadiyah Cilacap yang saat itu baru didirikan.
Pada 1936 Soedirman menikah dengan Alfiah, puteri R. Sastroadmodjo di Plasen Cilacap. Alfiah merupakan teman sekolah di MULO Wiworotomo. Semenjak menikah, Soedirman pun makin aktif berorganisasi di Muhammadiyah.
Soedirman mengawali kariernya di dunia militer saat tergabung dengan Lucht Bescherming Dienst (LBD) atau Penjaga Bahaya Udara di Cilacap.
LBD merupakan dinas bentukan Belanda dalam rangka menghadapi perang Asia Pasifik, serta mengantisipasi serangan Jepang. Karena gigih, ia ditunjuk sebagai Kepala LBD Cilacap. Di sana, rasa tanggung jawabnya terhadap keselamatan masyarakat semakin besar.
Soedirman pun terus berkoordinasi dengan para anggotanya, agar terus aktif dalam memberikan pengarahan mengenai cara-cara menyelamatkan diri, serta membantu rakyat mengamankan dirinya.
Di masa pendudukan Jepang, LBD dihapus. Namun, bakatnya di bidang militer membuat Soedirman mendaftarkan diri sebagai anggota PETA.
Selama mengikuti pendidikan Daidancho di Bogor, ia dikenal taat dan disiplin. Meski sering menentang tindakan pelatih yang sewenang-wenang, dirinya tetap dihargai.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Bogor, Soedirman diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) di Daidan Kroya. Saat menjabat sebagai Komandan Batalyon, Soedirman kerap membantah perintah tentara Jepang, membuatnya dicurigai.
Dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Jepang resmi membubarkan PETA dan Heiho. Tak lama, Soekarno membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Atas instruksi tersebut, Soedirman pun membentuk BKR di Banyumas dan menjabat sebagai pimpinan umum.
Pada 5 Oktober 1945, BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Soedirman dipercaya sebagai Panglima Tertinggi ketika dirinya masih 29 tahun.
Meski sudah terpilih sebagai Panglima TKR, Soedirman masih harus menunggu pelantikan resminya. Statusnya pun masih menjadi Komandan Divisi V Purwokerto. Sembari menunggu itu, ia tetap menjalankan tugas-tugasnya.
Pada 19 Oktober 1945, pasukan sekutu berhasil mendarat di Semarang sebagai jalan menuju Yogyakarta. Mereka membonceng NICA dan ingin menguasai Yogyakarta sebagai kota penting di Jawa. Namun ini digagalkan oleh Soedirman.
Pertempuran semakin memanas antara pihak sekutu dengan pejuang republik. Pasukan sekutu berusaha memukul mundur pasukan Soedirman hingga ke Magelang. Di bawah kepemimpinan Soedirman, pasukan sekutu mundur dan Magelang berhasil dikuasai kembali oleh republik. Pasukan sekutu kemudian mundur ke wilayah Ambarawa.
Setelah berhasil memukul mundur pasukan Sekutu dan atas pertimbangan Presiden Sukarno, pada 18 Desember 1945 Soedirman dilantik menjadi Panglima Tertinggi TKR. Dari situlah, ia resmi menjadi Jenderal Soedirman.
1 Oktober 1946 dilakukan perundingan antara Sutan Sjahrir dengan pemerintah Belanda di Linggarjati. Dalam perundingan tersebut dicapailah kesepakatan gencatan senjata dengan Belanda.
Soedirman ditunjuk sebagai salah satu panitia gencatan senjata. Sebagai kelanjutan dari perundingan tersebut, sebagai anggota panitia gencatan senjata, ia bersama Urip Soemahardjo berangkat ke Jakarta.
Namun di stasiun Klender, rombongan Soedirman dihadang pasukan Belanda dan berusaha dilucuti. Ini membuatnya marah dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta, jika Belanda memaksa mereka melucuti senjatanya.
Ancaman Soedirman membuat Belanda mengaku salah dan meminta maaf. Merkea lalu memperbolehkan Soedirman dengan Urip Soemohardjo menghadiri perundingan. Pada 5 November 1946, Soedirman kembali ke Yogyakarta. Dari perundingan tersebut lahirlah Perjanjian Linggarjati.
Tahun 1948, saat Belanda menyerang Yogyakarta dan wilayah Jawa Tengah lainnya, Jenderal Soedirman dan rombongannya mengarah ke Bantul. Dalam perjalanannya, mereka sesekali harus berhenti dan mencari perlindungan, akibat serangan-serangan udara yang dilancarkan militer Belanda.
Setelah sampai di Bantul sore hari, Jenderal Soedirman menyusun siasat dan mengadakan perang gerilya dalam menghadapi militer Belanda yang bersenjatakan lengkap.
Ketika memimpin pasukannya, Soedirman sedang dalam kondisi tidak sehat karena menderita tuberkulosis (TBC). Seringkali dia harus ditandu oleh anak buahnya.
Aksinya memimpin perang gerilya juga membuatnya tak luput dari pengawasan mata-mata tentara Belanda. Di 25 Desember 1948, ada seseorang yang datang ke tempatnya, dan pura-pura mengatakan hendak mencari Panglima Besar.
Kedatangan mata-mata ini menimbulkan kecurigaan di kalangan anak buah. Untuk itu dia segera meninggalkan tempatnya dan pindah ke hutan dengan jalan kaki. Namun sebelum itu, bersama Kapten Suparjo, Soedirman meminta Letnan Herru Kesser untuk menyamar sebagai dirinya karena bentuk dan ukuran badannya mirip.
Dalam penyamaran, Kesser langsung bergerak ke selatan dengan ditandu dan berhenti di suatu rumah. Di rumah itu, ia segera menanggalkan pakaian yang sering dipakai Soedirman. Setelah itu ia dan teman-temannya segera meninggalkan rumah tersebut tanpa diketahui mata-mata musuh.
Pada sore harinya rumah itu dibom oleh tiga buah pesawat pemburu Belanda hingga terbakar habis. Berkat taktik Kapten Suparjo yang berhasil mengelabui Belanda, Jenderal Soedirman selamat dari serangan musuh.
Hingga akhir Agresi Militer Belanda II, Soedirman pun tak pernah tertangkap oleh pasukan Belanda, hingga pengakuan kedaulatan secara penuh sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar.
Usai Republik Indonesia Serikat terbentuk, Jenderal Soedirman masih menjadi Panglima tertinggi TNI. Pada 28 Januari 1950, Soedirman wafat dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Dia diberi gelar Pahlawan Nasional tanggal 10 Desember 1964.