Pada 1948, Sayuti Melik kembali ditangkap Belanda dan ditahan di Ambarawa. Dia lalu dibebaskan pada 1950, setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia di akhir 1949, sesuai kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar.
Meski cukup dekat dengan Soekarno dan kerap dikait-kaitkan dengan paham kiri di masa lalu, Sayuti Melik justru menentang konsep Nasakom atau Nasionalisme, Agama, dan Komunisme yang kerap dilantangkan Bung Karno sejak 1956.
Selain itu, Sayuti juga tidak setuju jika Soekarno menjadi presiden seumur hidup, dan berbalik mengkritik PKI lewat tulisan-tulisannya.
Ketika Bung Karno menerapkan Demokrasi Terpimpin sejak 1959, yang membuat kekuasaannya jadi sangat kuat, Sayuti Melik pun ikut menentangnya. Meski begitu, dirinya tak sampai “disentuh” rezim Orde Lama, karena dia terkesan diacuhkan oleh Soekarno yang dulu cukup dekat dan bersahabat dengannya.
Usai Orde Lama lengser digantikan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, Sayuti mendapatkan jabatan sebagai anggota DPR/MPR dari Fraksi Golkar usai Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.
Sayuti Melik meninggal di Jakarta pada 27 Februari 1989 dalam usia 80 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.