Golongan muda seperti Sukarni, Darwis, dan Wikana, mengetahui kabar menyerahnya Jepang dari siaran radio BBC Inggris pun mendesak Soekarno dan Hatta memanfaatkannya untuk menyatakan proklamasi.
Namun, mengutip kebudayaan.kemdikbud.go.id, keduanya menolak karena belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Jepang. Golongan tua lain pun sepakat dan menyarankan untuk menunggu sampai 24 Agustus, yaitu tanggal yang ditetapkan Marsekal Terauchi untuk waktu kemerdekaan Indonesia saat menerima Soekarno-Hatta-Radjiman di Dalat.
Selain itu, golongan tua merasa kemerdekaan harus dipersiapkan secara matang melalui PPKI, menghindari konfrontasi, dan memastikan kenetralan Jepang terhadap proklamasi.
Baca Juga: Laksamana Maeda, Perwira Jepang dalam Sejarah Proklamasi RI
Di sisi lain, kaum muda merasa kemerdekaan harus dilakukan sendiri oleh bangsa Indonesia, sehingga kelak tidak dianggap hadiah dari Jepang.
Pada 15 Agustus 1945, para pemuda dibawah pimpinan Sukarni, Chairul Saleh, Wikana bersepakat mengamankan Soekarno dan Hatta bersama Fatmawati dan Guntur ke Rengasdengklok, dengan harapan agar mereka menuruti keinginan para pemuda.
Namun, sepanjang 16 Agustus 1945, tidak tercapai kesepakatan apapun. Sorenya, Ahmad Soebardjo datang dan berusaha membujuk para pemuda untuk melepaskan mereka. Akhirnya, mereka bersedia dengan jaminan oleh Soebardjo bahwa proklamasi akan terjadi esok hari.
Malam itu juga, rombongan berangkat ke Jakarta menuju rumah Laksamana Maeda di Meiji Dori No. 1.
Selanjutnya: Perumusan naskah Proklamasi