TopCareerID

17 Agustus Kemerdekaan Indonesia, Ini Sejarahnya

Ir. Soekarno (Bung Karno) didampingi Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta) sedang memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada hari Jum'at tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta (sekarang jalan Proklamasi).

TopCareer.id – Setiap 17 Agustus, Republik Indonesia memperingati hari kemerdekaannya, di mana tahun 2024 ini menjadi perayaan ke-79. Sejarah kemerdekaan Indonesia pun sudah banyak tercatat di buku-buku sejarah dan literatur.

Mengutip esi.kemdikbud.go.id, di sidang Parlemen Jepang di Tokyo pada 16 Juni 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengumumkan kesempatan bangsa Indonesia untuk berperan dalam politik dan pemerintahan. Hal itu dia tegaskan lagi saat berkunjung ke Jakarta pada 7 Juli.

Pasukan Jepang yang makin terdesak dalam Perang Dunia II membuat Perdana Menteri selanjutnya, Kuniaki Kaso, dalam sidang Parlemen Jepang di Tokyo 7 September 1977, mengumumkan Dai Nippon mengizinkan Indonesia merdeka di kemudian hari.

Sehari setelah itu, Indonesia boleh mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Baca Juga: Logo HUT ke-79 RI Diluncurkan, Ini Makna dan Filosofinya

Janji kemerdekaan kembali dipertanyakan. Pada 1 Maret 1945 Panglima Tentara (Saiko Syikikan) Jepang Kumaciki Harada, mengumumkan rencana pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

BPUPKI resmi diumumkan pada 29 April 1945 dengan ketua dokter Radjiman Wedyodiningrat, serta dua wakil ketua yaitu Itibangase Yosio dan R.P. Soeroso.

Selain itu ada tujuh orang Jepang, dari 60 orang anggota, yang duduk sebagai pengurus istimewa yang akan menghadiri setiap sidang tanpa hak suara. Sehingga, lembaga ini tetap berada di bawah kontrol Jepang.

Di sidang pertama BPUPKI pada 28 Mei sampai 1 Juni, dibahaslah dasar negara. Dari situ dicetuskan bahwa Pancasila menjadi dasar negara sesuai pidato Soekarno pada 1 Juni 1945.

Selanjutnya: Pembentukan Panitia Sembilan

Usai sidang pertama, dibentuklah panitia kecil yang berisi sembilan orang, yang kemudian dikenal sebagai Panitia Sembilan. Pada 22 Juni, mereka merumuskan batang tubuh UUD yang dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Pada sidang kedua BPUPKI pada 10 sampai 17 Juli, dibahaslah bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan UUD, ekonomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan dan pengajaran.

Sepuluh hari sebelum proklamasi, BPUPKI dibubarkan. Namun pada hari itu juga dibentuk Dokuritzu Junbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno, Mohammad Hatta, dan dokter Radjiman berangkat ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Panglima Angkatan Perang Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi.

Terauchi menyebut pemerintah Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Saat ditanyakan kapan keputusan itu boleh disampaikan kepada rakyat Indonesia, Terauchi menyerahkannya kepada Soekarno dan yang lainnya.

Pada 6 Agustus 1945, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima, disusul Nagasaki tiga hari kemudian. Kaisar Hirohito pun menyerah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945.

Selanjutnya: Desakan Golongan Muda

Golongan muda seperti Sukarni, Darwis, dan Wikana, mengetahui kabar menyerahnya Jepang dari siaran radio BBC Inggris pun mendesak Soekarno dan Hatta memanfaatkannya untuk menyatakan proklamasi.

Namun, mengutip kebudayaan.kemdikbud.go.id, keduanya menolak karena belum ada pernyataan resmi dari pemerintah Jepang. Golongan tua lain pun sepakat dan menyarankan untuk menunggu sampai 24 Agustus, yaitu tanggal yang ditetapkan Marsekal Terauchi untuk waktu kemerdekaan Indonesia saat menerima Soekarno-Hatta-Radjiman di Dalat.

Selain itu, golongan tua merasa kemerdekaan harus dipersiapkan secara matang melalui PPKI, menghindari konfrontasi, dan memastikan kenetralan Jepang terhadap proklamasi.

Baca Juga: Laksamana Maeda, Perwira Jepang dalam Sejarah Proklamasi RI

Di sisi lain, kaum muda merasa kemerdekaan harus dilakukan sendiri oleh bangsa Indonesia, sehingga kelak tidak dianggap hadiah dari Jepang.

Pada 15 Agustus 1945, para pemuda dibawah pimpinan Sukarni, Chairul Saleh, Wikana bersepakat mengamankan Soekarno dan Hatta bersama Fatmawati dan Guntur ke Rengasdengklok, dengan harapan agar mereka menuruti keinginan para pemuda.

Namun, sepanjang 16 Agustus 1945, tidak tercapai kesepakatan apapun. Sorenya, Ahmad Soebardjo datang dan berusaha membujuk para pemuda untuk melepaskan mereka. Akhirnya, mereka bersedia dengan jaminan oleh Soebardjo bahwa proklamasi akan terjadi esok hari.

Malam itu juga, rombongan berangkat ke Jakarta menuju rumah Laksamana Maeda di Meiji Dori No. 1.

Selanjutnya: Perumusan naskah Proklamasi

Maeda kemudian mempersilahkan ketiga tokoh menemui Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer) Jenderal Moichiro Yamamoto untuk membahas upaya tindaklanjut yang akan dilakukan.

Namun, setibanya di Markas Gunseikan di kawasan Gambir, ketiganya mendapat jawaban yang mengecewakan karena Jenderal Nishimura yang mewakili Gunseikan melarang segala bentuk upaya perubahan situasi yang dilakukan. Mereka pun diminta untuk menunggu Sekutu datang terlebih dahulu.

Ketiga tokoh pun sepakat Jepang tidak bisa diharapkan lagi dan kemerdekaan harus segera dirancang secepatnya. Anggota PPKI yang menginap di hotel Des Indes akhirnya segera dikawal oleh Sukarni dan kawan-kawan menuju rumah Maeda.

Di rumah Maeda, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo menyusun naskah proklamasi. Naskah ini lalu diserahkan ke Sayuti Melik untuk diketik. Kemudian, naskah diserahkan kembali ke Soekarno untuk ditandatangani olehnya dan Hatta, seperti yang diusulkan oleh Soekarni.

Soekarno pun menyampaikan bahwa pada hari itu juga, 17 Agustus 1945, proklamasi akan dibacakan di publik di halaman rumahnya, Pegangsaan Timur 56 Jakarta, jam 10.00. Sidang itu ditutup pukul 03.00 dini hari.

Pagi harinya, Barisan Pelopor yang dipersenjatai dan lima orang ahli judo sebagai pengawal tiba pukul 09.00. Sekitar 500 orang berdiri di depan beranda rumah.

Mereka mendesak Soekarno untuk segera membacakan proklamasi, namun Bung Karno menolak membacakannya tanpa didampingi Bung Hatta.

Selanjutnya: Pembacaan Muda

Hatta baru tiba lima menit sebelum jam 10.00. Ia menemui Soekarno di kamarnya ditemani Fatmawati. Mereka lalu keluar kamar dengan pakaian putih, sementara Fatmawati sudah menjahitkan bendera Merah Putih.

Naskah proklamasi pun dibacakan dalam suasana khidmat. Prosesi digelar tanpa protokol. Latif Hendraningrat lalu mengambil bendera dari Fatmawati, lalu dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia Raya.

Momen pembacaan proklamasi pun diabadikan oleh para pewarta seperti Frans dan Alex Mendoer dari IPPHOS. Selanjutnya, berita proklamasi akhirnya menyebar lewat berbagai cara seperti radio, surat kabar, telegram, serta lisan.

Baca Juga: Abdul Muis, Sang Pahlawan Nasional Pertama Indonesia

Adam Malik, pemimpin bawah tanah yang bekerja di Kantor Berita Domei, juga berperan dalam menyebarkan berita kemerdekaan Indonesia.

Saat orang-orang Jepang pergi makan siang, dia segera menjalankan pemancar gelombang pendek menyiarkan proklamasi ke seluruh dunia. Setelah itu dia bergegas keluar kantor, kabur dan bersembunyi sebelum orang-orang Jepang kembali ke ruang kerja.

Berita ini akhirnya mencapai Filipina, Australia, dan Saigon, serta dalam waktu seminggu diketahui dunia luar dari pihak Sekutu.

Exit mobile version