TopCareer.id – Wacana dana pensiun tambahan yang memotong gaji pekerja menuai polemik dalam beberapa hari terakhir.
Wacana ini bermula dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Pasal 189 ayat 4, yang mengatur bahwa pemerintah dapat meluncurkan program pensiun tambahan.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), wacana ini karena berdasarkan data, manfaat pensiun yang diterima pensiunan saat ini relatif sangat kecil, sekitar 10 sampai 15 persen. Sementara, standar ideal dari International Labour Organization (ILO) adalah 40 persen.
Pakar kebijakan publik Universitas Airlangga (UNAIR) Gitadi Tegas Supramudyo mengatakan, sebuah kebijakan harus mempertimbangkan siapa yang diuntungkan, dan siapa yang terdampak.
“Dalam kasus ini, ada dua kelompok utama. Pertama, pemerintah yang ingin melindungi kesejahteraan hari tua pekerja. Kemudian, para pekerja yang merasa sudah terbebani berbagai pungutan dan memiliki kepentingan yang berseberangan,” kata Gitadi.
Gitadi menegaskan harus ada kajian menyeluruh untuk menemukan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
“Kebijakan ini harus berpihak pada publik pekerja dan kesejahteraan mereka di masa pensiun,” kata Gitadi, seperti mengutip laman resmi Unair, Sabtu (14/9/2024).
Baca Juga: Kata OJK Soal Gaji Pekerja Dipotong Buat Dana Pensiun Tambahan
Adanya potongan gaji untuk dana pensiun tambahan, kata Gitadi, juga bakal memberatkan pekerja, terutama mereka yang pendapatannya rendah. Maka dari itu, harus ada strategi komunikasi yang cerdas dan terencana, untuk menghindari penolakan publik.
“Yang harus diekspos bukan soal pemotongan gaji, melainkan bagaimana dana ini akan melindungi hari tua pekerja,” kata Gitadi.
“Pemerintah juga harus menunjukkan peran mereka dalam skema ini, sehingga tidak terlihat hanya membebankan pekerja dan perusahaan,” imbuhnya.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, juga dinilai akan membuat kebijakan ini berisiko menimbulkan ketidakpercayaan yang lebih besar. Menurut Gitadi, ini memungkinkan masyarakat melihatnya sebagai upaya sepihak tanpa adanya kontribusi dari pemerintah.
Pemerintah pun disarankan untuk memetakan dan menginventarisasi berbagai jenis program pensiun yang ada di Indonesia, sebelum menerapkan kebijakan tersebut.
“Program pensiun sangat variatif, terutama bagi PNS yang mendapat 80 persen dari gaji pokok terakhir. Di BUMN dan perusahaan swasta besar, pesangon sering kali menjadi pilihan, dengan besaran yang berbeda-beda tergantung kebijakan internal,” kata Gitadi.
Baca Juga: INDEF Minta Pemerintahan Baru Tunda Kebijakan yang Bebani Kelas Menengah
Selain itu, perlu ada perumusan formula baru yang melibatkan tim representatif dari berbagai sektor.
Gitadi mengatakan, formula yang lebih adil harus dirumuskan melalui tim yang mewakili beragam sektor, sehingga bisa dicapai solusi yang menguntungkan semua pihak.
Opsi lain yang diusulkan Gitadi adalah penggunaan asuransi yang langsung dibayarkan oleh perusahaan. Menurutnya, hal ini bisa jadi alternatif bagi para pekerja bergaji kecil.
Dosen FISIP Unair itu juga menekankan pemotongan gaji tidak bisa secara tak langsung menjadi solusi.
“Pemotongan gaji memang dapat menjadi alternatif. Tetapi negara harus turut menanggung sebagian dana pensiun pekerja, terutama bagi mereka yang berpenghasilan kecil,” pungkasnya.