Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Thursday, November 21, 2024
idtopcareer@gmail.com
Tren

Ekspor Alas Kaki Tumbuh 64,5 Persen di Era Jokowi, Asosiasi: Harusnya Bisa 2x Lipat

Ilustrasi sepatu dan alas kaki (aprisindo.or.id)

TopCareer.id – Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengungkapkan ekspor alas kaki Indonesia meningkat hingga 64,5 persen di sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Namun, menurut Ketua Umum Aprisindo Eddy Wijanarko, pertumbuhan ekspornya seharusnya bisa mencapai dua kali lipat.

“Meskipun seharusnya selama satu dekade pertumbuhan ekspor alas kaki bisa mencapai dua kali lipat,” kata Eddy melalui siaran persnya, ditulis Jumat (18/10/2024).

Keyakinan ini melihat pertumbuhan ekspor di 2022 yang sempat tembus USD 7,7 miliar, atau tumbuh 88 persen jika dibandingkan saat awal Jokowi menjabat pada 2014, dengan nilai ekspor USD 4,1 miliar.

Namun, pertumbuhan ini terhambat anjloknya permintaan global akibat perang di Eropa antara Rusia dan Ukraina.

“Apabila pada pertengahan tahun 2022 tidak terjadi penurunan global demand akibat adanya perang di Eropa antara Rusia dengan Ukraina, seharusnya ekspor lndonesia sudah bisa tumbuh double,” kata Eddy.

Baca Juga: Kata Jokowi Soal RI Diterpa Deflasi 5 Bulan Berturut-turut

Setelah menurun sejak pertengahan 2022 hingga akhir 2023, ekspor alas kaki mulai stabil did 2024, dan diproyeksikan tumbuh positif meskipun masih kecil.

Estimasi asosiasi mencatat, pada 2024 ekspor akan mencapai USD 6,7 miliar atau tumbuh lima persen dibandingkan tahun 2023.

Eddy menilai, pertumbuhan pesat ekspor alas kaki selama pemerintahan Jokowi tidak bisa dilepaskan dari sejumlah kebijakannya yang mereka anggap berani.

Peraturan Pemerintah (PP) 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Pembangunan infrastruktur secara masif khususnya jalur tol Trans Jawa, dianggap menjadi game changer awal yang mampu menahan laju relokasi industri padat karya keluar dari Indonesia.

Menurut Aprisindo, PP ini paling tidak berhasil memberikan jaminan keterukuran kenaikan upah minimum, karena telah ditetapkan dalam sebuah formula perhitungan.

Baca Juga: Jangan Tunggu Sampai Jebol, Ini Waktu yang Tepat Ganti Sepatu Lari

Pembangunan tol Trans Jawa juga dianggap memangkas waktu tempuh antar daerah, sehingga membuka peluang pilihan daerah baru di Jawa Barat dan Tengah, bahkan hingga ke Jawa Timur sebagai tujuan investasi industri padat karya.

Selain itu, saat pandemi Covid-19, pemerintah tetap dan masih membuka peluang produksi, dengan implementasi protokol kesehatan yang ketat.

Sejumlah Kementerian lalu menerbitkan sejumlah regulasi pendukungnya, seperti Kementerian Perindustrian menerbitkan izin operasional dan mobilitas kegiatan industry (IOMKI).

Langkah ini, kata Aprisindo, membuat industri orientasi ekspor tetap bisa menjaga komitmen mereka terhadap kebutuhan dunia, bahkan dapat merebut pemesanan dari negara-negara produsen alas kaki, yang melakukan lockdown.

Di saat bersamaan, pemerintah juga menetapkan Undang-Undang Cipta Kerja, yang salah satunya melakukan deregulasi perundangan bidang ketenagakerjaan.

Pengaturan pada bidang ketenagakerjaan menurut asosiasi, mampu memberikan daya tarik yang kuat bagi industri alas kaki untuk berinvestasi di lndonesia.

Lebih lanjut, kata Eddy, transisi pemerintahan yang berjalan dengan baik ke Presiden terpilih Prabowo Subianto, dapat memacu pertumbuhan alas kaki.

Beberapa Kendala Masih Jadi Tantangan

Namun, meski industri masih berada di jalur yang tepat dan dalam proses pertumbuhan, Eddy melihat masih ada kendala yang jadi tantangan bagi kemajuan.

Beberapa kendala ini seperti akses ke pasar utama di Uni Eropa, dengan ekspor Indonesia masih terbebani bea masuk yang tidak kompetitif. Di sisi lain, bahan baku yang kompetitif masih menjadi penghambat dalam peningkatan ekspor alas kaki lndonesia.

Dukungan fasilitas kemudahan impor untuk tujuan ekspor dalam bentuk Kawasan Berikat memang mampu memudahkan aksesibilitas terhadap impor bahan baku yang kompetitif untuk industri. Sayangnya, kata Eddy, tidak semua industri bisa mengakses fasilitas tersebut.

“Sehingga industri dalam negeri, khususnya yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sulit bersaing untuk pasar ekspor dan domestik,” ujar Eddy.

Selain itu, masih ada juga masalah klasik seperti birokratisasi perizinan usaha yang masih jadi hambatan investasi masuk.

“Kepastian dalam mendapatkan layanan perizinan mulai dari kepastian dapat izin, kepastian waktu, kepastian jumlah untuk izin yang berbentuk kuota dan besarnya biaya mendapatkan izin masih menjadi kendala,” kata Eddy.

Ia mencontohkan, hingga saat ini untuk mendapatkan izin lingkungan masih perlu waktu lama, bahkan bisa mencapai hingga dua tahun dan dengan biaya yang sangat mahal.

Leave a Reply