TopCareer.id – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mendesak pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan, untuk turun tangan menangani masalah pailit yang dihadapi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex.
Netty mengatakan, jika dibiarkan tanpa penandangan serius, akan berimbas pada pemutusan kerja 45 sampai 50 ribu karyawan di perusahaan tekstil tersebut.
“Saya sepakat dengan teman-teman Komisi IX DPR bahwa pemerintah harus turun tangan memberikan solusi atas masalah (Sritex) yang membayangi 45 ribu sampai 50 ribu pekerja di Sritex,” kata Netty, dikutip dari situs dpr.go.id.
“Pasti di belakang mereka ada puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu anak, istri, atau keluarga yang dinafkahi,” imbuhnya di sela Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli di Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Baca Juga: Menaker: Tak Ada PHK, Sritex Tetap Jalankan Produksi
Selain itu, kepailitan Sritex juga dapat mengancam stabilitas ekonomi dalam negeri, mengingat perusahaan ini merupakan raksasa tekstil terbesar di Tanah Air.
Dalam kondisi optimal, perusahaan dapat memproduksi 1,1 juta bal kain per tahun. Jangkauan pasarnya juga luas dan mencakup lebih dari 100 negara, di berbagai benua seperti Australia, Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.
Netty pun mendorong pemerintah untuk meninjau ulang setiap regulasi perdagangan dan ketenagakerjaan.
Menurut politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, peninjauan ulang krusial agar regulasi yang dibuat benar-benar memberikan jaminan perlindungan yang efektif kepada perusahaan dalam negeri, sekaligus para pekerja di Indonesia.
Baca Juga: Karyawan Sritex Kenakan Pita Hitam Usai Putusan Pailit
Dalam laporan yang Netty terima, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor telah memukul seluruh industri tekstil di Indonesia, termasuk Sritex.
Kebijakan ini juga menyebabkan barang-barang impor masuk tanpa persetujuan teknis (pertek), sehingga barang-barang impor termasuk tekstil menjajah pasar.
“Marilah kebijakan ini mengedepankan kemampuan dan sumber daya dalam negeri. Kalau di kemudian, kita mendengar ada impor yang masuk ke Indonesia, nah kebijakan itu apakah seharusnya dicabut atau direvisi,” kata Netty.
“Review regulasi ini bisa menjadi salah satu solusi yang bisa dilakukan,” pungkasnya.