TopCareerID

Putusan MK Soal UU Ciptaker, Pakar Soroti Pemenuhan Hak Buruh

Demo buruh menolak Tapera pada Kamis (6/6/2024). (TopCareer.id/Giovani Dio Prasasti)

TopCareer.id – Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu mengabulkan sebagian gugatan kelompok buruh terkait Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker, melalui Putusan Nomor 168//PUU-XXI/2023.

Adapun, beberapa permohonan buruh terkait UU Ciptaker yang diajukan antara lain seperti memperjelas jangka waktu kontrak kerja, pembatasan jenis outsourcing, hingga sistem pengupahan yang layak.

Terkait putusan tersebut, pakar hukum ketenagakerjaan Lanny Ramli mengatakan ada dua pertimbangan terhadap hak-hak buruh yaitu pemenuhan hak normatif dan pemenuhan kebutuhan hidup.

Pakar Universitas Airlangga (UNAIR) itu mengatakan, kualitas kehidupan buruh juga harus sesuai dengan kinerja dan masa kerjanya.

Pemerintah daerah pun dinilai berperan penting terhadap kualitas buruh. Lanny mengatakan, peran utama pemerintah daerah terletak pada angkatan kerja, terutama mereka yang menginginkan penghasilan lebih banyak.

Baca Juga: DPR: PP 51/2023 Soal Pengupahan Tak Berlaku Lagi Usai Putusan MK

“Memang cukup banyak poin penting yang menjadi permohonan dalam Putusan MK tersebut. Maka perlu penyelarasan kebijakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,” kata Lanny.

“Tentunya hak-hak para buruh harus diakomodir terlebih dahulu oleh pemerintah setempat, sehingga pelaksanaan putusan MK ini dapat terlaksana,” imbuhnya, mengutip laman resmi UNAIR, Senin (18/11/2024).

Lanny juga mengatakan, bicara soal jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), tak masalah apabila dibatasi hanya lima tahun.

Dia menegaskan, setelah masa berlaku PKWT habis, buruh bisa mengikatkan kembali perjanjian kerja, namun tidak dalam konteks perpanjangan PKWT.

“Tentunya pembatasan ini sebagai upaya perlindungan hukum bagi buruh,” kata Lanny.

Baca Juga: Bahas Putusan MK Soal UU Cipta Kerja, Menaker: Fokus Upah Minimum Dulu

Selain itu terkait pengupahan, Lanny menyebut sistem upah proporsional harus memiliki parameter yang jelas, karena ini akan sangat berpengaruh terhadap nominal yang diterima buruh.

“Sangat sulit untuk menentukan upah proporsional, jika tidak ditentukan dengan jelas parameter dan regulasinya,” kata Lanny.

Dia menjelaskan, biasanya upah proporsional menyesuaikan kondisi daerah atau yang sekarang dikenal sebagai Upah Minimum Provinsi (UMP).

“Tentunya pemberian upah proporsional harus berlandaskan kinerja dan lama kerja dari buruh,” tuturnya.

Ia pun berharap, pengaturan nantinya akan memperhatikan kebutuhan pekerja, serta sesuai kemampuan pengusaha dan diharapkan jalur birokrasi pun lebih mudah.

“Pekerja dan pengusaha adalah mitra, pemerintah sebagai pengayomnya, sehingga regulasi hukum ketenagakerjaan harus jelas,” pungkasnya.

Exit mobile version