TopCareer.id – Kebijakan pajak pertambahan nilai atau PPN naik 12 persen mulai 1 Januari 2025 menuai pro kontra, apalagi di tengah penurunan kelas menengah dan daya beli masyarakat Indonesia.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) Rossanto Dwi Handoyo mengatakan, PPN pada dasarnya adalah pajak yang pemerintah berikan kepada produsen, yang mengolah barang mentah menjadi produk.
Secara umum, PPN naik 12 persen memang bakal menurunkan konsumsi masyarakat, namun tetap bisa meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Pasti ada kenaikan harga, tapi kenaikannya itu masih manageable,” kata Rossanto, seperti dikutip dari laman resmi, Rabu (20/11/2024).
Rossanto pun berharap kenaikan APBN ini bisa jadi stimulus ekonomi melalui government spending.
“Misalnya bangun jalan, bandara, pelabuhan itu bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tapi, konsumsi masyarakat yang menurun karena pajak itu juga harus diperhatikan,” ujarnya.
Baca Juga: PPN Naik 12 Persen, Indef: Daya Beli Anjlok, Tenaga Kerja Bisa Dikurangi
Karena itu, Rossanto mengatakan efektivitas pemerintah dalam mengelola APBN nantinya sangat penting.
“Tolong kalau pemerintah membelanjakan APBN ini harus efektif. Itu untuk kepentingan masyarakat. Jangan sampai buat infrastruktur, tapi terbengkalai. Pastikan itu bermanfaat untuk masyarakat di sana,” tegasnya.
Rossanto mengatakan, jika ditinjau dari pertumbuhan ekonomi, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih berada dalam kondisi baik.
Terkait kondisi neraca perdagangan yang masih surplus, ini menandakan ekspor Indonesia lebih banyak daripada jumlah impornya.
“Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di negara-negara lain, kita sudah termasuk sangat bagus. China saja sekarang di bawah lima persen ya,” kata Rossanto.
Baca Juga: Sri Mulyani Pastikan PPN 12 Persen Berlaku di 2025
Lebih lanjut, dia menjelaskan di 2019 sampai 2024 memang terjadi penurunan kelas menengah di Indonesia. Efek pandemi Covid-19 ditengarai jadi salah satu penyebabnya.
“Memang kalangan menengah kita belum pulih sejak Covid. Saat itu terjadi penurunan (kelas menengah) yang sangat drastis,” Rossanto menjelaskan.
Sementara terkait turunnya daya beli, Rossanto berpendapat pemerintah telah melakukan upaya yang baik dalam menjaga daya beli masyarakat.
Harga bahan bakar minyak (BBM) misalnya, Indonesia cenderung stabil di tengah kondisi perang yang terjadi di beberapa negara.
“Menurut saya strategi pemerintah pintar (dalam) menjaga daya beli masyarakat dari sisi administrative price,” kata Rossanto.
Sementara soal deflasi berturut-turut dalam lima bulan, ia berpendapat ada dua kemungkinan penyebab fenomena tersebut. Pertama adalah karena banyaknya pasokan barang (supply) atau dikarenakan turunnya permintaan (demand).
“Ini yang masih harus dikaji, besar mana antara supply banyak atau demand yang turun,” ujar Rossanto.