TopCareerID

Pelajaran Coding dan AI di Sekolah Harus Sesuai Kapasitas Anak

Ilustrasi laporan Glints sebut tiga posisi teratas yang paling dicari di Indonesia, ada software developer.

Ilustrasi programme IT coding. Ilustrasi laporan Glints sebut tiga posisi teratas yang paling dicari di Indonesia, ada software developer. (Topcareer.id)

TopCareer.id – Pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) mengingatkan agar gagasan pemerintah soal pembelajaran coding dan kecerdasan buatan (AI) di sekolah, tidak menjadi beban buat anak dan tidak eksklusif.

Peneliti isu masyarakat digital sekaligus Deputi Sekretaris dari Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, Iradat Wirid, mengatakan gagasan tersebut sebenarnya cukup menarik untuk membuka ruang eksplorasi pada anak.

Namun, ada hal-hal yang perlu diperhatikan agar pembelajaran tersebut tidak memaksa dan memberi beban pada anak, hanya demi ambisi menciptakan talenta digital.

“Materi ajar harus sesuai dengan kapasitas anak,” kata Iradat, seperti dilansir laman resmi UGM, dikutip Selasa (26/11/2024).

Iradat mengatakan, bekal yang harus diberikan pertama kali pada siswa adalah logika berpikir, agar tercipta pemecahan masalah yang baik.

Baca Juga: Mendikdasmen Ungkap Coding dan AI Bakal Jadi Mapel Pilihan di SD-SMP

Menurutnya, programmer atau coder harus bisa menyelesaikan masalah secara berurutan dalam sistem coding.

Karena itu, dibutuhkan juga pengajaran moral tentang kesabaran dan ketelitian tinggi, sehingga tidak perlu mengulang pekerjaan dari awal.

“Siswa harus diberi pemahaman hakikat dari proses agar tidak terjebak dengan keinstanan AI,” ujarnya.

Selain mendorong pengajaran soal teknologi, Iradat mengingatkan agar perlu didahulukan penanaman nilai moral dan etika, agar anak bisa menggunakan AI dengan bijak dan dapat menghargai orang lain dalam ranah hak dan privasi.

Baca Juga: Kata Pakar Pendidikan Soal AI dan Coding Bakal Diajarkan di SD

Anak juga perlu bekal literasi digital agar memiliki kemampuan untuk memahami isu, sebagai bagian dari pemahaman untuk coding dan AI.

Menurut Iradat, pembelajaran coding secara teknis bisa dikemas dengan konsep belajar sambil bermain. Jika anak mampu, praktik membuat gim sederhana dapat dilakukan di jenjang SMP atau SMA.

“Diajarkan saja dengan metode-metode yang menyenangkan, sesuai dengan kapasitas usianya. Jangan membebani dengan tuntutan harus jadi coder di usia segitu,” kata Iradat.

Jangan Eksklusif

Terkait mata pelajaran AI dan coding yang diperuntukkan di sekolah-sekolah terpilih saja, hal ini dinilai tidak tepat oleh Iradat.

Ia mengatakan, dari sisi tenaga pengajar, guru-guru muda diharuskan mengajar logika matematika dan logika komputasi yang rasional, serta kembali pada konsep dasar.

Guru-guru juga dinilai perlu melakukan peningkatan pengetahuan mengenai tools pembuatan coding.

Iradat pun mempertanyakan kesiapan pemerintah terkait sarana-prasarana yang nanti digunakan guru dan murid, seperti kesediaan laptop atau komputer.

“Eksklusifitas pembelajaran itu tidak pernah bagus. Tidak perlu ambisius dan buru-buru karena ini semua harus disiapkan secara totalitas,” tambahnya.

Baca Juga: Kuasai 3 Skill AI Ini Buka Peluang Dapat Kerja Bergaji Tinggi

Pemerintah pun disarankan menciptakan program yang lebih inkluif dan merata. Iradat mengatakan, jika program ini hanya pilot project, sampel dan percobaannya jangan hanya membidik sekolah di kota-kota besar dan yang sudah maju.

Dia menyebut, prinsip pemerataan dan keadilan harus jadi hal yang utama. “Kalau nanti hanya memilih di sekolah yang bagus, itu berarti cherry picking (pembenaran sepihak),” kata Iradat.

Iradat berharap agar kemajuan Sains, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM) juga diimbangi dengan ilmu-ilmu sosial agar tercipta kolaborasi antardisiplin ilmu, sehingga menghasilkan generasi muda yang melek isu sosial.

“Pemahaman social science-nya tetap harus diperkuat di dalam level yang sama supaya tidak kehilangan arah dan tidak apatis,” pungkasnya.

Exit mobile version