TopCareer.id – Sekolah berstandar internasional disebut jadi salah satu layanan mewah di bidang pendidikan, yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen mulai Januari 2025.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Sartono menilai rencana PPN 12 persen pada sektor pendidikan ini tidak tepat dan sebaiknya dibatalkan.
Agus menyebut, pengenaan pajak tersebut dipaksakan, serta bakal memperburuk capaian akses perguruan tinggi dan semakin membuat Indonesia tertinggal jauh dengan negara ASEAN lainnya.
“Pendidikan merupakan investasi jangka panjang dan tidak seharusnya dijadikan objek pajak,” kata Agus, dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (27/12/2024).
“Kalau saja kebocoran dan korupsi dapat ditekan, maka lebih dari cukup untuk pembiayaan investasi sumber daya manusia. Jika kita abai terhadap sektor pendidikan maka hanya masalah waktu saja kita justru akan makin terpuruk,” ujarnya.
Baca Juga: Spotify, Netflix, hingga Isi Pulsa Kena PPN 12 Persen, Ini Kata DJP
Selain itu, kebijakan ini tidak tepat karena pemerintah sendiri gencar agar pendidikan di Indonesia punya kualitas bertaraf internasional.
Sementara di sisi lain, kata Agus, ada berbagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN BH) yang telah lama mengembangkan International Undergraduate Program (IUP).
Program ini tidak saja menyumbangkan pembiayaan bagi PTN BH, tetapi juga mampu menarik minat student exchange dari negara lain.
“Melalui IUP PTN BH mampu memberikan subsidi silang bagi anak-anak dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu sehingga mereka mendapatkan akses pendidikan tinggi,” kata Agus.
Baca Juga: Anggota DPR Kritik Sekolah Internasional Kena PPN 12 Persen
Agus pun mengatakan, kehadiran mahasiswa asing di PTN BH juga memiliki peran strategis dalam jangka panjang.
Selain mendorong ekspor layanan pendidikan, hal tersebut juga berpotensi melahirkan para Indonesianis yang berperan penting dalam membangun hubungan bilateral antar negara.
Alasan lain langkah ini tidak tepat, kata Agus, adalah karena masih adanya tantangan terhadap akses pendidikan di tanah air yang masih terbatas.
“Pertanyaan mendasar adalah mengapa pada saat pemerintah kesulitan meningkatkan akses justru berencana menambah beban berupa PPN 12 persen?” kata Agus.
“Belum lagi berbicara bagaimana mengatasi luaran pendidikan yang tidak mampu diserap industri,” pungkasnya.