TopCareer.id – Chatbot berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) seperti ChatGPT atau Gemini, juga sering dipakai untuk mencari informasi kesehatan.
Meski begitu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengingatkan agar masyarakat tetap bijak dalam menyerap informasi yang disajikan oleh AI.
Menurut Chief Of Technology Transformation Office Kemenkes Setiaji, AI memungkinkan seseorang mendapatkan wawasan awal, mengenai gejala atau kondisi yang mungkin mereka alami.
Positifnya, ini dapat meningkatkan kesadaran dan memotivasi masyarakat, untuk lebih proaktif dalam menjaga kesehatannya.
“Saat menggunakan ChatGPT atau chatbot berbasis AI serupa lainnya untuk kesehatan, penting bagi masyarakat untuk memperlakukan informasi yang dihasilkan sebagai titik awal pencarian dan tidak sebagai dasar untuk tindakan pengobatan atau menganggapnya sebagai sebuah diagnosis medis,” kata Setiaji.
Ia menambahkan, teknologi ini dapat memberikan respon cepat dan wawasan yang bermanfaat, berdasarkan data yang sudah diprogram di dalamnya.
“Namun, setiap informasi yang diperoleh harus melalui proses validasi lebih lanjut oleh dokter atau tenaga kesehatan profesional,” kata Setiaji, seperti dikutip dari laman resminya, Jumat (3/1/2024).
Baca Juga: 2025, Pekerja yang Jago AI Bakal Makin Dicari
Meski jawaban meyakinkan, kata Setiaji, AI juga belum mampu mempertimbangkan kompleksitas faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan individu.
“Masyarakat juga harus waspada dan kritis terhadap kesalahan atau ketidakcocokan informasi yang disajikan oleh AI. Tidak semua jawaban yang dihasilkan oleh chatbot berbasis AI akurat atau relevan untuk setiap situasi klinis,” katanya,” Setiaji menegaskan.
Sehingga, masyarakat pun tak boleh bergantung pada jawaban dari AI, tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.
Setiaji menjelaskan, AI beroperasi menggunakan algoritma, yang menggeneralisasi data untuk menghasilkan jawaban yang paling mungkin terjadi. Dalam konteks klinis, gejala serupa bisa berasal dari berbagai penyakit.
“Teknologi AI mungkin menunjukkan beberapa kemungkinan tanpa dapat menentukan mana yang paling relevan untuk pasien, karena tidak dilakukan analisis klinis yang lebih mendalam,” kata Setiaji.
Sebagai contoh, batuk dan demam bisa menjadi indikasi flu biasa, Covid-19, atau masalah kesehatan lain yang lebih serius seperti pneumonia.
“Tanpa pemeriksaan fisik, tes laboratorium, dan analisis kontekstual lebih lanjut oleh dokter, diagnosis yang dihasilkan AI tersebut bisa saja menyesatkan,” tegas Setiaji.
Baca Juga: ChatGPT Search Rilis ke Pengguna Gratis, Fitur Buat Pencarian di Internet
Karena itu, berhati-hatilah dalam mengikuti saran pengobatan dari AI. Tanpa penilaian klinis yang tepat, rekomendasi tersebut malah berisiko dan membahayakan.
“Saran pengobatan hanya dapat diberikan oleh tenaga medis profesional yang dapat menilai risiko dan manfaat dengan tepat berdasarkan pemeriksaan kesehatan yang menyeluruh,” kata Setiaji.
“Terlebih, AI tidak dapat memberikan jaminan dan tanggung jawab terhadap informasi dan saran yang telah diberikan,” imbuhnya.
Selain itu, Juru Bicara Kemenkes Widyawati menegaskan, masyarakat harus tetap berkonsultasi dengan tenaga medis, apabila mengalami gejala penyakit.
“ChatGPT dan chatbot AI sejauh ini bisa dianggap sebagai pelengkap, tetapi belum dapat menggantikan peran tenaga kesehatan secara mutlak. AI hanya melihat apa yang kita inginkan saat itu, sesuai dengan pertanyaan yang diajukan,” kata Widyawati.