TopCareer.id – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di bidang kesehatan harus tetap mengutamakan keselamatan pasien.
Menurut Kemenkes, saat ini AI menawarkan tingkat akurasi yang tinggi dalam diagnostik medis, serta memberikan perspektif baru tentang bagaimana teknologi ini dapat diintegrasikan ke dalam praktik kesehatan di masa depan.
Hal ini juga sudah didukung oleh berbagai temuan penelitian yang sudah dipublikasikan.
Pemanfaatan AI diketahui mampu mengidentifikasi penyakit secara cepat berdasarkan gejala yang ada. Ini bisa menjadi potensi besar, khususnya dalam situasi saat efisiensi dan perluasan layanan kesehatan sangat diperlukan.
Namun menurut Chief of Technology Transformation Office Kemenkes, Setiaji, dikutip dari laman resmi Kemenkes, Rabu (8/1/2025). penerapannyanya harus mengutamakan keselamatan pasien.
Baca Juga: 2025, Pekerja yang Jago AI Bakal Makin Dicari
“Dokter tetap memposisikan diri menjadi penentu keputusan, terutama dalam hal pertimbangan kemanusiaan serta etika medis, dan memposisikan AI sebagai pemberi rekomendasi diagnosis,” kata Setiaji.
Menurutnya, AI harus dijadikan alat bantu yang mendukung dokter dalam membuat keputusan medis lebih cepat, berdasarkan informasi yang ada.
“Integrasi AI ke dalam praktik klinis harus dilakukan dengan memprioritaskan etika dan keselamatan pasien,” ujarnya.
Selain itu dalam praktik medis, integrasi kecerdasan buatan juga harus memastikan penggunaan teknologi dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, tanpa mengabaikan pentingnya keahlian medis manusia.
Menurutnya, penting untuk melakukan penilaian kritis dalam memahami dan mengimplementasikan hasil penelitian terkait keakuratan AI, untuk praktik medis sehari-hari di Indonesia.
Baca Juga: Biar Tak Diganti Teknologi, Generasi Muda Wajib Perkuat Kemampuan Digital
“Penting untuk mempertimbangkan metodologi penelitian yang dipakai oleh AI, termasuk jenis data yang diolah, program yang dijalankan, dan apakah sampel penelitian tersebut telah merepresentasikan populasi secara umum,” ujarnya.
Setiaji menjelaskan, penelitian yang dilakukan di lingkungan terkontrol mungkin tidak bisa menggambarkan kompleksitas kasus yang dihadapi dalam praktik klinis, khususnya di Tanah Air.
Interpretasi hasil penelitian AI juga harus memperhitungkan keragaman gejala yang bisa dimiliki oleh penyakit yang berbeda.
Menurut Setiaji, AI mungkin tidak bisa menggantikan evaluasi medis individual yang komprehensif, karena memerlukan interaksi langsung antara dokter dan pasien.
“Dokter memiliki kemampuan unik untuk menilai berbagai faktor yang mungkin memengaruhi kesehatan seseorang, seperti riwayat kesehatan, kondisi lingkungan, dan gaya hidup yang dijalani,” pungkasnya.