TopCareer.id – Sektor kesehatan Indonesia masih menghadapi sederet tantangan, salah satunya terkait pelaksanaan swamedikasi dan penyalahgunaan obat.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri Roestam dalam sebuah siniar mengungkapkan, 60 persen apoteker terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara sisanya tersebar di seluruh Indonesia.
“Pola ini juga terlihat di tingkat provinsi, mayoritas apoteker praktik di ibu kota dibandingkan kabupaten atau kota lainnya,” kata Noffendri, dikutip dari siaran pers, Kamis (9/1/2025).
Per Oktober 2024, Indonesia memiliki 106 ribu apoteker, namun distribusinya tidak merata sehingga menghambat layanan kesehatan di banyak wilayah.
Baca Juga: Cara Bijak Konsumsi Antibiotik Buat Cegah Resistensi Antimikroba
Noffendri mengatakan, setiap tahunnya sekitar 12 ribu apoteker baru lulus dari 70 perguruan tinggi farmasi di Indonesia.
Namun, tanpa insentif pemerintah untuk mendorong mereka mengabdi di daerah terpencil, pemerataan tenaga kesehatan tetap menjadi tantangan.
“Kita berharap apoteker tidak hanya praktik di kota besar, tetapi juga menjangkau daerah yang membutuhkan,” kata Noffendri.
Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan tersebut, swamedikasi atau pengobatan mandiri untuk gangguan kesehatan ringan, muncul sebagai alternatif penting.
“Swamedikasi membantu masyarakat mengatasi gejala ringan sekaligus mengurangi beban fasilitas kesehatan,” kata Muhammad Fajri Adda’i, residen kardiologi dan dokter influencer.
Baca Juga: Waspada! Bakteri Kebal Antibiotik Bikin Orang Sakit Lebih Sulit Diobati
Namun, kata Fajri, edukasi merupakan kunci dari keberhasilan praktik ini, khususnya terkait pembelian dan penggunaan obat.
“Pembelian obat golongan bebas (tanda lingkaran hijau), dan bebas terbatas (tanda lingkaran biru) tanpa resep harus dilakukan dengan mematuhi aturan dosis di kemasan, karena penggunaan secara berlebihan dapat mengakibatkan efek samping kerusakan organ dalam,” kata Fajri.
Dia juga menekankan bahwa pasien harus berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, apabila kondisinya tidak membaik dalam tiga hari.
Masalah lainnya adalah penyalahgunaan obat-obatan oleh oknum di beberapa daerah.
Obat-obatan yang pasokannya terbatas malah dicampur dengan minuman keras untuk menambah sensasi efek memabukkan dari minuman tersebut, yang malah merugikan masyarakat yang membutuhkan obat untuk swamedikasi.
Remaja Rentan Penyalahgunaan Obat
Psikolog Klinis Anak dan Keluarga, Irma Gustiana Andriyani mengatakan, remaja jadi kelompok yang paling rentan dalam fenomena ini.
“Otak remaja belum sempurna proses perkembangannya, sehingga belum dapat mengukur risiko dan sering bertindak impulsif,” kata Irma.
“Selain itu, upaya konformitas dengan teman sebaya juga memberikan kecenderungan melakukan hal-hal yang kurang bijak,” ia menambahkan.
Situasi ini diperparah dengan minimnya edukasi dari keluarga, sekolah, hingga lingkungan.
Kurangnya pengetahuan dasar mengenai hidup sehat dan penggunaan obat yang aman di rumah dan sekolah, memberikan celah bagi remaja untuk mencoba hal-hal berbahaya, termasuk penyalahgunaan obat.
Baca Juga: Waspada! Kenali Ciri-Ciri Obat Palsu Menurut Pakar UGM
“Perlu keterlibatan banyak pihak, bukan hanya keluarga, tetapi anggota masyarakat, pemerintah juga sekolah untuk memberikan edukasi terkait penggunaan obat yang bijak sejak usia dini,” kata Irma.
Untuk membatasi penyalahgunaan obat, aparat kerap melakukan razia terhadap apotek. Namun, langkah ini malah menimbulkan masalah.
“Apotek dan toko obat beroperasi dengan regulasi dan dalam pengawasan dinas kesehatan dan balai POM daerahnya, sehingga jika ada pelanggaran tentunya yang menindak adalah kedua badan tersebut di daerah masing-masing,” kata Noffendri.
Menurutnya, apotek dan toko obat merupakan sarana distribusi kefarmasian, bukan diskotek atau tempat nongkrong yang memungkinkan penyalahgunaan.
Fokus Pada Penindakan
Noffendri pun menyebut, jika dilihat lebih dalam tentang bagaimana oknum mendapatkan obat untuk disalahgunakan, kebanyakan bukan dari distributor resmi.
“Melainkan pengedar obat tidak resmi atau malah gelap, mungkin itu yang harusnya jadi fokus penindakan, bukan razia ke sarana distribusi kefarmasian,” kata Noffendri.
Maka dari itu, dalam siniar tersebut, ketiga pembacara sepakat dibutuhkan solusi komprehensif yang melibatkan semua pihak, serta memperhatikan berbagai faktor yang mencakup beberapa strategi.
Baca Juga: Pedoman BPOM: Begini Cara yang Benar Buang Obat yang Tak Terpakai
Edukasi pada masyarakat perlu diberikan secara komprehensif agar meningkatkan pengetahuan tentang pedoman swamedikasi dan penggunaan obat yang aman.
Kemudian, diperlukan percepatan dan penyederhanaan proses izin apotek untuk memastikan akses masyarakat di seluruh wilayah Indonesia untuk swamedikasi.
Perlu juga pemerataan infrastruktur kesehatan seperti sarana pelayanan kefarmasian dan tenaga kefarmasian.
“Harapannya solusi yang diberikan harus sustainable. Optimalisasi peran Puskesmas dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk permasalahan yang kita hadapi,” pungkas Noffendri.