TopCareerID

Indonesia Diterpa Brain Drain, Rekrutmen Kerja Pakai Ordal Jadi Sorotan

Ilustrasi daftar 15 perusahaan terbaik di Indonesia untuk bekerja. (Pexels)

Ilustrasi wawancara kerja di perusahaan. (Pexels)

TopCareer.id – Pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan Indonesia sedang menghadapi fenomena brain drain, atau perginya masyarakat intelektual, ilmuwan dan cendekiawan, yang memilih menetap di luar negeri.

Menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, sejak tahun 2019 hingga 2022, terdapat 3.912 warga negara Indonesia (WNI) yang beralih menjadi warga negara Singapura. Sebagian besar warga yang pindah berusia produktif yaitu 25 sampai 35 tahun.

Laporan peringkat human flights and brain index tahun 2024 oleh The Global Economy juga mencatat, Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-88 dari 175 negara.

Menurut Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM Hempri Suyatna, fenomena ini sesungguhnya sudah terjadi sejak lama.

Ia mencontohkan di 1960-an, banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri dan tidak kembali ke Indonesia, karena lebih memilih bekerja di luar negeri.

“Adanya fenomena ini terus terjadi saat ini dimana banyak tenaga-tenaga terampil dan profesional Indonesia yang memilih berkarier di luar negeri daripada di Indonesia,” kata Hempri, dikutip dari laman resmi UGM, Senin (3/2/2025).

Baca Juga: Pakar UGM Ungkap Penyebab Naiknya Angka PHK di Indonesia

Hempri mengatakan, hengkangnya ribuan WNI yang memilih pindah ke Singapura selama tiga tahun berturut-turut, membuat Indonesia terancam kehilangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan punya potensi.

Ini juga menunjukkan, negara tetangga itu menjadi tempat yang lebih nyaman untuk berkarier.

“Bisa dikatakan Singapura dianggap lebih baik sebagai tempat untuk berkarir dan mendapatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan,” kata Hempri.

Banyaknya SDM usia produktif yang memilih pindah kewarganegaraan ini juga disayangkan, sebab mereka sebenarnya masih sangat dibutuhkan untuk mendorong pembangunan di tanah air.

“Selama ini anak-anak muda ini punya kemampuan potensial, kreativitas, dan inovasi yang lebih unggul. Hal ini tentunya sangat disayangkan ketika mereka harus pergi ke luar negeri,” kata Hempri.

“Indonesia tidak hanya kekurangan tenaga-tenaga terampil, tetapi ini dapat mengakibatkan munculnya ketimpangan ekonomi antar negara maupun lambatnya akselerasi pembangunan di Indonesia,” imbuhnya.

Konsep link and match sebenarnya bisa jadi solusi untuk meminimalisir fenomena brain drain.

Menurut Hempri, model-model semacam ini cukup menarik, karena di satu sisi, mahasiswa juga siap masuk ke pasar kerja ketika sudah lulus. Namun, menurutnya, masih banyak kendala yang dihadapi di lapangan.

“Misalnya soal pendampingan pasca kegiatan dan sebagian mahasiswa mengikuti program-program tersebut yang seringkali lebih berorientasi pada mendapatkan nilai sehingga hal-hal yang dipelajari selama pelaksanaan kegiatan kurang berkembang dengan optimal,” kata Hempri.

Baca Juga: 7 dari 10 Orang RI Mau Pindah Kerja pada 2025, tapi Kerap Di-Ghosting Perekrut

Pemerintah pun didesak untuk segera membuat grand design pembangunan kependudukan, agar menjadi semacam blue print di dalam penyusunan peta kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja, yang sesuai keahlian yang dimiliki lulusan Perguruan Tinggi.

“Harapannya dengan adanya link and match antara pendidikan dengan pasar kerja diharapkan akan mampu meminimalkan anak-anak muda terampil untuk bekerja di luar negeri,” kata Hempri.

Hempri mengatakan, peta kebutuhan ini pun tidak akan cukup mengingat situasi pasar kerja yang dinamis.

Bahkan, proses rekrutmen tenaga kerja di Indonesia yang kerap mengandalkan sistem kekerabatan atau kekeluargaan, atau dikenal dengan istilah Ordal (Orang Dalam), juga bakal membuat program tersebut sia-sia.

“Kita lihat kondisi ini yang seringkali masih dominan di kita sehingga orang yang memiliki kompetensi baik belum tentu diterima di pasar kerja,” pungkas Hempri.

Exit mobile version