TopCareerID

Tren #KaburAjaDulu Bukan Berarti Tak Nasionalis

Ilustrasi demo. Sumber foto: freepik.com

TopCareer.id – Tren #KaburAjaDulu belakangan menggema di media sosial, menyoroti berbagai kondisi ekonomi, sosial, politik di Indonesia, salah satunya soal sulitnya lapangan kerja.

Pakar sosiologi menilai bahwa tren #KaburAjaDulu bukan berarti masyarakat tidak nasionalis, malah harus menjadi perhatian pemerintah.

Menurut pakar dari Universitas Muhammadiyah Surabaya Radius Setiyawan, hal ini merupakan ungkapan perasaan atas dampak kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat, baik dari sisi ekonomi, sosial, pendidikan, dan keadilan.

“Kemunculan #KaburAjaDulu adalah bentuk tanggapan cepat yang secara reflek atas persoalan yang terjadi hari ini,” kata Radius, seperti mengutip laman resmi, Jumat (21/2/2025).

“Itu adalah ekspresi kemarahan, kekecewaan, keputusasaan dan protes anak-anak muda yang disampaikan kepada publik kepada pemerintah lewat media sosial,” Radius menambahkan.

Baca Juga: Viral #KaburAjaDulu, Wakil Ketua Komisi IX DPR: Pemerintah Harus Otokritik

Dengan laporan tingkat kepuasan 100 hari kerja yang berada di angka 80 persen namun di media sosial menggema #KaburAjaDulu, Radius menyebut hal ini sebagai sebuah anomali.

“Pemerintah itu dengan bangganya menyuguhkan rating (kinerja), tapi di satu sisi ada fenomena itu. Saya kira pemerintah perlu menjadikan itu perhatian,” ujarnya.

Menurutnya, tagar tersebut bukan berarti masyarakat tidak memiliki nasionalisme, justru merupakan bagian dari rasa cinta generasi muda terhadap Indonesia.

Misalnya, generasi muda menyoroti efisiensi anggaran di bidang-bidang penting seperti pendidikan, energi, hingga penanganan bencana dan krisis iklim.

“Menurut saya itu bagian dari kecintaan mereka terhadap Indonesia. Bukan persoalan nasionalisme, justru Gen Z mengungkapkan ekspresi kecewa dan pemerintah harus melihat itu,” kata Radius.

Baca Juga: Efisiensi Anggaran Pemerintah, Pakar Ingatkan Dampak ke Produktivitas Pekerja

Radius mengatakan, saat ini anak muda sangat sadar terhadap disparitas global, terutama yang terkait kualitas hidup di berbagai negara yang bisa diketahui melalui media sosial.

Dispartitas ini termasuk perbedaan jaminan kesehatan, kualitas pendidikan, kesempatan kerja, hingga kebebasan berekspresi.

Pernyataan yang dilontarkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yaitu “kabur saja lah. Kalau perlu jangan balik lagi” sangat disayangkan dan membuat situasi lebih panas.

Radius mengatakan, pernyataan ini justru kontra produktif. Komunikasi semacam ini ke khalayak muda tidak seharusnya seperti itu.

Approval rating itu akhirnya membuat orang ragu, dan menilai bahwa pemerintah anti kritik dan sebagainya,” kata Radius.

Lebih lanjut, Radius melihat secara gramatikal #KaburAjaDulu tidaklah permanen.

“Mungkin merasa ketidakpastian kondisi sehingga ingin pindah dulu, ketika suasana membaik dia akan kembali. Bukan pindah permanen. Itu mewakili keresahan publik terutama Gen Z,” tambahnya.

Yang jadi PR pemerintah saat ini adalah soal komunikasi publik. Tidak seharusnya bentuk ekspresi generasi muda ditanggapi sinis dan antagonis.

Pemerintah Harus Bisa Jelaskan dengan Baik

Menurut Radius, kabinet yang masih panjang ini harus mendengarkan masukan-masukan anak muda, serta perlu melakukan perbaikan-perbaikan.

“Bisa jadi menggemanya tagar #KaburAjaDulu bentuk kegagalan pemerintah dalam menjelaskan terkait efisiensi,” kata Radius.

“Padahal efisiensi ini banyak dilakukan di banyak negara. Bagaimana efisiensi itu ketika dijelaskan ke publik harus ada rasionalisasi yang kuat,” ujarnya.

Pemerintah pun harus bisa menjelaskan soal logika efisiensi, serta keuntungan yang bisa dirasakan.

Selain itu, pemerintah juga harus bisa membuktikan efisiensi ini relevan dengan perkembangan peningkatan produktivitas masyarakat, serta wujud dan program dari efisiensi itu sendiri.

Baca Juga: Susah Dapat Kerja Makin Dikeluhkan Warganet di Medsos

“Misal terlalu banyak perjalanan dinas, berarti bagaimana pola yang baru? Saya kira masyarakat kita akan menerima ketika pemerintah meyakinkan publik,” ujar Radius.

“Yang menjadi masalah pemerintah memberikan komunikasi yang sifatnya antagonis,” ia menambahkan.

Radius malah mengapresiasi pernyataan Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Dzulfikar Ahmad Tawalla yang melihat tagar ini sebagai bentuk ekspresi anak muda dalam melihat realitas sosial, dan tidak boleh ditanggapi negatif.

Seharusnya, ini bisa jadi momentum untuk memberikan pemahaman bahwa bekerja di luar negeri bisa dilakukan dengan jalur yang aman, terlindungi, dan terjamin.

Menurut Dzulfikar, hal ini bukan sekadar “kabur” tapi mempersiapkan diri dengan bekal yang cukup agar sukses di negeri orang.

Exit mobile version