TopCareer.id – Ketua DPR Puan Maharani menegaskan tidak ada toleransi bagi praktik kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk di kampus.
Ketua DPR itu juga mendorong agar pelaku pelecehan dan kekerasan seksual mendapat hukuman yang setimpal.
“Tidak boleh ada sedikitpun toleransi terhadap kekerasan seksual di dunia pendidikan. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya,” kata Puan, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (9/4/2025).
Sebelumnya, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan telah membebastugaskan seorang dosen berinisial EM sejak pertengahan 2024, yang dilaporkan telah melakukan pelecehan seksual.
EM, yang merupakan dosen Fakultas Farmasi, dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap belasan mahasiswa di kediaman pribadinya.
EM diduga melakukan pelecehan seksual dengan modus bimbingan skripsi atau tesis di luar kampus selama periode 2023-2024. Padahal, universitas sudah mengatur aktivitas perkuliahan harus dilakukan di lingkungan kampus.
Baca Juga: DPR: Profesi Wartawan Harus Dapat Perlindungan Hukum
“Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan tinggi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap integritas dunia akademik,” kata Ketua DPR.
Putri Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri itu mengatakan, institusi pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi para peserta didik, bukan tempat yang mengancam masa depan.
“Kampus seharusnya jadi ruang aman, bermartabat, dan menjadi benteng utama dalam membangun nilai-nilai etika serta peradaban, bukan malah menjadi tempat pelecehan berulang,” kata Puan.
Penegak hukum pun didorong untuk menangani kasus ini dengan transparan dan adil.
Puan menegaskan, pelaku kekerasan seksual harus dihukum berat tanpa ada toleransi, seperti yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Baca Juga: Legislator: Cek Kesehatan Gratis Butuh Fasilitas dan SDM Berkualitas
“Dalam UU TPKS juga diatur adanya pemberat hukuman jika pelaku merupakan seorang tokoh pendidik. Saya harap hal ini juga menjadi pertimbangan dalam proses hukum kasus ini,” kata Puan.
Selain itu menurutnya, tidak boleh ada kekebalan hukum meski pelaku merupakan guru besar atau tokoh terkemuka.
“Hukum harus berdiri tegak, tanpa pandang bulu. Siapa pun pelakunya, harus bertanggung jawab di hadapan hukum,” kata mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) juga diminta memperkuat implementasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Ia menegaskan, harus ada sistem yang efektif agar regulasi itu benar-benar dijalankan di lingkungan kampus.
“Satuan Tugas PPKS perlu diberi kewenangan lebih luas dan dukungan yang memadai agar tidak menjadi formalitas semata,” kata Puan.
Baca Juga: Cegah Kekerasan Seksual di Kampus, Seluruh PTN Bentuk Satgas PPKS
Selain itu, dia juga mendorong evaluasi total dan audit menyeluruh terkait mekanisme tata kelola etika, serta pembimbing akademik di kampus.
“Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dengan mahasiswa biasanya terjadi karena relasi kuasa. Maka harus ada audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan akademik,” kata Puan.
Dia menambahkan, diperlukan juga adanya sistem pelaporan yang aman dan rahasia, serta menjamin perlindungan saksi dan korban secara konkret.
“Relasi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa menjadi celah bagi pelecehan untuk terus terjadi,” kata Puan.
“Karena relasi kuasa ini menyebabkan korban ketakutan untuk melapor, sebab mereka khawatir akan berdampak terhadap nilai akademik di kampus. Budaya seperti ini yang harus diputus,” tegasnya.