Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Tren

Skill Trap dan Susah Dapat Kerja Ancam Bonus Demografi Indonesia

Ilustrasi mencari kerja-CV menarik-resume - ilustrasi era AI mengubah lanskap kerja termasuk kualifikasi kerja. (Dimas/Topcareer.id)Ilustrasi mencari kerja. (Dimas/Topcareer.id)

TopCareer.id – Kurangnya lapangan kerja yang tersedia jadi ancaman bagi bonus demografi di Indonesia, yang digadang-gadang akan terjadi pada 2030.

Belakangan, ramai diperbincangkan di media sosial tentang lowongan Asisten Rumah Tangga (ART) dan baby sitter yang banyak dilamar oleh lulusan sarjana.

Selain itu, banyaknya lulusan kampus yang terpaksa melamar menjadi ojek online atau pekerja informal yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, juga jadi sorotan.

Dian Fatmawati, dosen pembangunan sosial dan kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, seretnya lapangan kerja yang terus berlanjut dapat mengancam lonjakan bonus demografi.

Menurutnya, meningkatnya jumlah tenaga kerja adalah wajar dalam bonus demografi. Namun, Dian menilai situasi ini tak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah.

“Antara tahun 2020-2030 kita punya banyak sekali angkatan kerja, tapi di lain pihak tren lapangan kerja bukannya bertambah malah semakin menurun,” kata Dian, dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (10/4/2025).

Baca Juga: Prabowo Janjikan Lapangan Kerja dari Proyek Pemerintah

Dian juga menyoroti kasus-kasus sulitnya Gen Z dalam mencari kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, yang marak terjadi akhir-akhir ini.

Situasi ekonomi dan politik saat ini juga dinilai tidak menguntungkan bagi ketersediaan lapangan kerja.

Masalah ini diperparah dengan makin lesunya ekonomi, anjloknya daya beli masyarakat, turunnya pendapatan produsen, hingga rendahnya penghasilnya masyarakat.

“Jika lingkaran tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan segera menghadapi krisis ekonomi,” kata Dian.

Ia mengatakan, masyarakat yang punya kemampuan finansial untuk, mengasah keterampilan atau melanjutkan pendidikan, mungkin masih bisa bertahan.

Namun, mereka yang tak bisa mendapatkan penghasilan tanpa bekerja akan sangat dirugikan, sehingga berisiko memunculkan skill trap atau jebakan keterampilan.

“Mereka terpaksa bekerja di sektor-sektor yang tidak sesuai dengan kompetensi, biasanya mengambil pekerjaan di bawah kualifikasi yang mereka miliki. Ini memunculkan fenomena skill trap,” ujar Dian.

Baca Juga: Pendaftar Perguruan Tinggi Menurun, Pertanda Anjloknya Lapangan Kerja

Skill trap adalah kondisi saat seseorang tidak mendapatkan penambahan kompetensi sesuai bidangnya. Ini terjadi karena tidak adanya wadah yang sesuai untuk melatih dan mengelola kompetensi.

Seseorang pun hanya bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan bertahan hidup. Menurut Dian, fenomena inilah yang menjelaskan peningkatan tren pekerja informal dari tahun ke tahun.

“Hampir 60 persen masyarakat kita bekerja secara self-employed, mempekerjakan dirinya sendiri karena tidak ada lowongan,” kata Dian.

“Kita juga mengenal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), tapi dengan kondisi ekonomi seperti ini UMKM juga sulit bertahan,” imbuhnya.

Leave a Reply