TopCareer.id – Faktor ekonomi, termasuk maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dinilai jadi salah satu yang menjadi penyebab turunnya angka pemudik pada Lebaran tahun ini.
Menurut Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan mencatat jumlah pemudik turun 24 persen menjadi sekitar 193 juta.
“Banyak yang memilih perjalanan jarak pendek, seperti Semarang–Solo, akibat kontraksi ekonomi,” kata Esther dalam konferensi pers Lembaga Survei KedaiKOPI, ditulis Sabtu (19/4/2025).
Esther mengungkapkan, dari sisi ekonomi, terjadinya kontraksi ekonomi jadi salah satu penyebabnya.
Baca Juga: Tanggapi Perintah Prabowo, Menaker Siap Bentuk Satgas PHK
“Jadi orang takut mudik karena yang pertama adanya relokasi anggaran, atau kalau dalam bahasa yang viral efisiensi anggaran,” kata Esther, dikutip dari siaran daring di Youtube Survei KedaiKOPI.
Ia mengatakan, pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah di berbagai sektor juga berdampak pada bisnis dan turunnya konsumsi rumah tangga. Penyebab turunnya pemudik lainnya adalah PHK yang marak terjadi.
“Mereka yang terkena PHK akan berpikir ulang bahwa sekarang ini kalau untuk mudik mereka harus bawa oleh-oleh, biaya transportasinya belum lagi, kemudian kasih angpao buat saudara-saudara di kampung,” kata Esther.
Selain itu, dampak ekonomi juga terlihat pada penurunan perputaran uang dari Rp 197 triliun pada 2024 menjadi hanya sekitar Rp 180 triliun di 2025.
Baca Juga: Kritik Menperin, KSPN Sebut Serapan Tenaga Kerja Tak Sebanding Angka PHK
“Karena daya beli yang melemah tadi, maka kalau kita lihat mereka lebih baik melakukan saving untuk beberapa bulan ke depan, karena kalau dapat THR atau uang dari PHK juga akan untuk hidup setelah Lebaran,” kata Esther.
Melihat kondisi ekonomi yang tercermin dari mudik tahun ini, Esther mengatakan perlunya stimulus fiskal. “Bagaimana mendorong ekonomi di sektor riil ini terutama mereka yang terkena PHK untuk bisa berwirausaha,” ujarnya.
Selain itu, terkait efisiensi belanja publik, pemerintah perlu membuka lebih banyak lapangan pekerjaan yang bersifat padat karya.
“Jadi kalau nanti ada investasi datang ke Indonesia baik itu dari dalam negeri maupun asing, maka lebih prefer pada padat karya atau labour intensive daripada capital intensive, karena banyak pengangguran,” Esther mengatakan.