TopCareer.id – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut bahwa 2024 resmi menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan instrumental.
Menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Forum Inovasi Climate Smart Indonesia di Jakarta, Senin (5/5/2025), suhu rata-rata global di tahun terpanas itu mencapai 1,55 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.
Dwikorita mengatakan, angka tersebut sudah melampaui batas ambang Perjanjian Paris yang telah disepakati secara global untuk mencegah krisis iklim.
“Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia,” kata Dwikorita, dikutip dari siaran pers, Rabu (7/5/2025).
Dia menjelaskan, perubahan suhu yang terjadi sekarang jauh lebih cepat dibanding perubahan iklim yang pernah menyebabkan kepunahan massal jutaan tahun lalu.
Baca Juga: BMKG Prediksi Musim Kemarau 2025 Berlangsung Lebih Pendek
Tanpa upaya mitigasi yang kuat dan kolaboratif, perubahan suhu ekstrem berpotensi membawa dampak besar terhadap stabilitas ekosistem, ketahanan pangan, serta keselamatan umat manusia di berbagai belahan dunia.
“Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun,” ujarnya.
Data dari BMKG menunjukkan peningkatan suhu di Indonesia terus meningkat sejak 1981. Tahun 2024 pun mencatatkan rekor suhu rata-rata nasional tertinggi yaitu mencapai 27,52 derajat Celsius.
Kondisi ini, kata Dwikorita, bukan sekadar anomali, tapi bukti nyata bahwa krisis iklim telah berlangsung dan akan berdampak langsung pada sektor-sektor vital, termasuk kesehatan publik.
Dampak perubahan iklim juga bukan cuma terkait cuaca ekstrem, tapi juga meningkatnya ancaman penyakit.
Beberapa masalah kesehatan yang berisiko muncul misalnya penyakit menular, malnutrisi, gangguan kesehatan mental, hingga memburuknya kualitas hidup masyarakat.
Perubahan pola curah hujan dan suhu juga memperparah kasus infeksi berbasis air dan makanan, seperti kolera dan salmonella, serta penyakit akibat gigitan serangga seperti demam berdarah dan Lyme disease.
Baca Juga: Perubahan Iklim Paling Berdampak ke Gen Z dan Alpha
Lebih lanjut, BMKG mengingatkan bahwa Indonesia sedang bersiap memasuki musim kemarau, yang biasanya diiringi peningkatan suhu dan memburuknya kualitas udara.
Risiko kekeringan dan polusi udara, terutama partikulat halus PM 2.5, semakin tinggi karena minimnya curah hujan dan pergerakan angin yang stagnan.
Dwikorita menegaskan, tantangan ini tak bisa dihadapi hanya oleh satu lembata atau sektor saja, tapi membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, untuk mmperkuat sistem peringatan dini dan ketahanan kesehatan nasional.
Dia mengatakan BMKG juga siap untuk terus membagikan data dan teknologi yang dimiliki, kepada para pihak yang ingin berkolaborasi.
“Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan,” pungkasnya.