TopCareer.id – Karyawan di Jepang dilaporkan tengah dilanda fenomena “quiet quitters” atau pekerja melakukan pekerjaan yang minimal, hanya untuk sekadar memenuhi tugas-tugasnya alias quiet quitting.
Menurut survei perusahaan pencari kerja Mynavi, sekitar 45 persen karyawan penuh waktu menjadi quiet quitters.
Pada 3.000 responden usia 20 sampai 59 tahun, tren ini paling banyak ditemukan di kalangan anak muda, dengan hampir 47 persen karyawan usia 20-an mengaku menganut gaya kerja “secukupnya saja.”
Temuan ini memperlihatkan tenaga kerja yang kurang termotivasi, serta lebih fokus pada keseimbangan kehidupan dan pekerjaan.
Akari Asahina, peneliti di Mynavi Career Research Lab mengatakan, fenomena “quiet quitters” menjadi norma baru.
“Karena nilai-nilai menjadi lebih beragam, penting bagi perusahaan untuk menerima nilai-nilai individu yang beragam dan menawarkan gaya kerja yang fleksibel yang sesuai dengan mereka,” kata Asahina.
Baca Juga: Quiet Quitting: Fenomena Baru di Dunia Kerja Profesional
Dalam survei yang dirilis April 2025 ini, sekitar 60 responden yang mengaku sebagai quiet quitters, merasa puas dengan apa yang mereka peroleh, khususnya bagaimana mereka menghabiskan waktu baik selama jam kerja maupun di luar jam kerja.
Lebih dari 70 persen dalam kelompok yang sama mengakui bahwa mereka ingin melanjutkan praktik tersebut.
Mengutip The Japan Times, Rabu (28/5/2025), survei Mynavi mencatat, ada empat alasan utama mengapa pekerja di Jepang ingin menjadi quiet quitters:
- Merasa tempat kerjanya tidak sesuai dengan keinginannya.
- Tidak puas dengan penilaian atasan
- Lebih suka bertahan di posisi saat ini, karena promosi akan menghabiskan lebih banyak waktu atau tenaga tapi tak sepadan dengan gaji yang diterima
- Sama sekali tidak peduli dengan kemajuan karier
Baca Juga: Demi Gaet Pekerja Muda, Perusahaan Jepang Ini Tawarkan Cuti Mabuk
Namun, tak semua HRD memandang tren ini negatif. Hampir 39 persen manajer HR di Jepang justru menerima tren ini sebagai bentuk keberagaman gaya kerja.
Meski begitu, 32 persen lainnya menanggapi tren ini secara negatif, mengaku bahwa moral organisasi bisa ikut turun jika semangat kerja mulai memudar.
Istilah quiet quitting sendiri mulai viral di TikTok Amerika Serikat, sebagai pola pikir baru bagi para pekerja.
Mereka yang melakukan quiet quitting lebih suka bekerja dengan cara yang sesuai dengan tugasnya, tanpa berusaha keras memajukan karier, mencari promosi, atau naik gaji.