TopCareerID

Musim Kemarau 2025 Terlambat Datang, Ini Penjelasan BMKG

Kepala BMKG menjelaskan soal fenomena curah hujan di musim kemarau. (YouTube Info BMKG)

TopCareer.id – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan alasan musim kemarau 2025 di Indonesia mundur dan mungkin akan berlangsung lebih pendek.

Menurut BMKG, hingga awal Juni 2025, baru sekitar 19 persen zona musim di Indonesia yang sudah memasuki musim kemarau.

Artinya, sebagian besar wilayah di Indonesia hingga saat ini masih berada dalam kategori musim hujan, meskipun kalender klimatologis biasanya menunjukkan kemarau seharusnya telah dimulai di banyak daerah pada periode ini.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, kemunduran awal musim kemarau tahun ini terutama disebabkan oleh kondisi curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya (Atas Normal) selama periode April hingga Mei 2025, yang seharusnya merupakan masa peralihan dari musim hujan ke kemarau.

Mengutip siaran pers, Rabu (25/6/2025), Dwikorita mengatakan bahwa kondisi ini sudah diprediksi sebelumnya oleh BMKG melalui prakiraan iklim bulanan yang dirilis pada Maret 2025.

Baca Juga: BMKG Prediksi Musim Kemarau 2025 Berlangsung Lebih Pendek

Dalam prediksi tersebut, BMKG mengantisipasi adanya peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan, seperti Sumatera bagian selatan, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Peningkatan curah hujan ini menyebabkan wilayah-wilayah tersebut belum dapat bertransisi sepenuhnya ke musim kemarau sebagaimana biasanya.

“Prediksi musim dan bulanan yang kami rilis sejak Maret lalu menunjukkan adanya anomali curah hujan yang diatas normal di wilayah-wilayah tersebut, dan ini menjadi dasar utama dalam memprediksi mundurnya musim kemarau tahun ini,” ujarnya.

Berdasarkan analisa BMKG terhadap data curah hujan di seluruh Indonesia pada Dasarian I (sepuluh hari pertama) Juni 2025, diketahui bahwa sifat hujan di berbagai wilayah mulai menunjukkan tanda-tanda pergeseran menuju kondisi kemarau.

Sebanyak 72 persen wilayah berada dalam kategori Normal, 23 persen dalam kategori Bawah Normal (lebih kering dari biasanya), dan hanya sekitar 5 persen wilayah yang masih mengalami curah hujan Atas Normal.

Ini berarti, tren pengurangan curah hujan mulai dirasakan di sebagian besar wilayah Indonesia, meskipun secara spasial belum merata.

Baca Juga: Kemarau Diprediksi Lebih Pendek, Pakar Tetap Imbau Antisipasi Ketersediaan Air

Menurut Dwikorita, wilayah Sumatera dan Kalimantan justru telah mengalami beberapa dasarian berturut-turut dengan curah hujan yang lebih rendah dari normal, sehingga indikasi awal musim kemarau lebih cepat terlihat di wilayah tersebut dibanding wilayah selatan Indonesia.

BMKG juga menyebutkan bahwa pada bulan April hingga Mei lalu, masih banyak wilayah selatan Indonesia yang mengalami curah hujan tinggi. Ini termasuk Sumatera Selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, dan Papua bagian selatan.

Pola ini menunjukkan bahwa transisi musim kemarau tidak berlangsung seragam di seluruh Indonesia.

Berdasarkan prakiraan cuaca terbaru, BMKG memprediksi curah hujan di atas normal masih akan terjadi di beberapa wilayah hingga Oktober 2025.

Karena itu, musim kemarau tahun ini diperkirakan akan berlangsung lebih singkat dan tetap disertai curah hujan yang cukup tinggi.

Untung Rugi Curah Hujan di Musim Kemarau

Dwikorita pun mengingatkan curah hujan di musim kemarau akan membawa dua sisi konsekuensi. Satu sisi ini menguntungkan petani padi karena air irigasi tetap tersedia. Namun di sisi lain, bisa menjadi masalah bagi petani hortikultura.

Menurutnya, tanaman hortikultura seperti cabai, bawang, dan tomat sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit akibat kelembaban berlebih.

“Kami mendorong petani hortikultura untuk mengantisipasi kondisi ini dengan menyiapkan sistem drainase yang baik dan perlindungan tanaman yang memadai,” kata Dwikorita.

Dwikorita juga menekankan pentingnya kesiapan pemerintah daerah dan masyarakat, dalam menghadapi pola cuaca yang semakin tak menentu akibat perubahan iklim global.

“Kita tidak bisa lagi berpaku pada pola iklim lama. Perubahan iklim global menyebabkan anomali-anomali yang harus kita waspadai dan adaptasi harus dilakukan secara cepat dan tepat,” ujarnya.

Dia menegaskan, informasi prediktif dan analisis dari BMKG harus jadi landasan dalam menyusun kebijakan dan strategi adaptasi di berbagai sektor, mulai dari pertanian, pengelolaan sumber daya air, hingga penanggulangan bencana.

Exit mobile version