TopCareerID

Job Fair Bukan Solusi Instan Atasi Pengangguran

Ilustrasi job fair. (Gambar dibuat dengan AI ChatGPT)

TopCareer.id – Pakar IPB University mengingatkan bahwa job fair atau bursa kerja bukan solusi instan untuk menjawab masalah pengangguran.

Dosen Ekonomi Ketenagakerjaan IPB University Tanti Novianti, menegaskan bahwa agar berdampak nyata, job fair harus didesain secara strategis, inklusif, dan terintegrasi dengan program ketenagakerjaan yang lebih luas.

Tanti mengatakan, tujuan utama bursa kerja sebenarnya adalah untuk menjembatani ketidakseimbangan informasi antara pencari kerja dan perusahaan.

Sehingga, perusahaan dapat menemukan kandidat sesuai kebutuhan dan pencari kerja mendapatkan lowongan sesuai kualifikasi mereka. Idealnya, kata Tanti, sebuah job fair dirancang sebagai solusi mismatch tenaga kerja.

Namun, fakta di lapangan mengungkapkan bahwa bursa kerja seringkali hanya menjadi tempat menampung surplus pencari kerja, ketimbang benar-benar menjawab kekurangan tenaga kerja di industri.

“Job fair lebih kepada solusi jangka pendek, bukan obat mujarab pengangguran,” kata Tanti, dikutip dari laman ipb.ac.id, Selasa (1/7/2025).

Baca Juga: Job Fair Bekasi Ricuh, Kemnaker: Bursa Kerja Harus Disiapkan dengan Matang

Karena itu Tanti mengusulkan agar sebuah bursa kerja bersifat tematik, misalnya fokus pada industri tertentu.

Sementara dari sisi desain acara, bursa kerja nasional kerap tak memiliki fokus sektor atau kualifikasi yang jelas, sehingga profil pelamar yang datang tidak sesuai kebutuhan industri.

“Karena itu, desain penyelenggaraan job fair harus berbasis data, baik dari sisi pasar kerja maupun profil penganggur,” kata Tanti.

Dia menambahkan, bursa kerja tanpa disertai penciptaan investasi dan peluang kerja baru juga tidak akan menyelesaikan masalah pengangguran.

Wakil Dekan Bidang Sumberdaya, Kerjasama, dan Pengembangan Sekolah Bisnis IPB University menegaskan, diperlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, serta perguruan tinggi.

Penyelenggaraan bursa kerja juga harus melihat jauh ke depan, bukan sekadar formalitas.

Baca Juga: Job Fair Bekasi Ricuh, DPR: Cermin Mendesaknya Akses Kerja pada Masyarakat

Perencanaannya harus mempertimbangkan analisis kebutuhan, simplifikasi birokrasi, dan integrasi dengan pelatihan vokasi, hingga kebijakan investasi tenaga kerja.

Dari segi pelaksanaan, kata Tanti, job fair harus inklusif dan produktif bagi semua pihak. Kehadiran fasilitas seperti wawancara on-site, konseling karier, dan talkshow inspiratif menjadi nilai tambah.

Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas juga penting, termasuk adanya kurasi lowongan kerja yang nyata dan sesuai kebutuhan industri.

Sejak tahap perencanaan, keterlibatan dengan industri juga jadi kunci penting.

Pemerintah pun disarankan menggandeng asosiasi seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), serta mengoptimalkan regulasi seperti wajib lapor lowongan kerja.

“Peluang kerja sebaiknya masuk dalam sistem bursa kerja nasional,” Tanti menambahkan.

Baca Juga: Job Fair Disebut Cuma Formalitas, Wamenaker: Jangan Bikin Hoaks

Bursa kerja juga seharusnya tidak berdiri sendiri, namun harus terintegrasi dengan pelatihan tenaga kerja berbasis kebutuhan industri.

Sebagai contoh, model dual-track di Jerman dan pelatihan intensif di perusahaan-perusahaan Jepang sebagai praktik baik yang bisa ditiru.

Saran lainnya adalah dengan pemanfaatan teknologi. Platform digital dan penggunaan big data serta AI matching, bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan bursa kerja.

Teknologi juga dapat dipakai untuk memudahkan segmentasi peserta dan pengelolaan acara.

Segmentasi peserta ini misalnya untuk lulusan SMK dan fresh graduate yang angka penganggurannya tinggi, serta kelompok disabilitas yang membutuhkan akses dan lowongan kerja khusus.

Job fair idealnya menjadi pintu masuk ke pelatihan lanjutan dan pendampingan kerja, bukan hanya mengumpulkan lamaran,” pungkas Tanti.

Exit mobile version