TopCareer.id – Budaya Pacu Jalur belakangan ramai diperbincangkan berkat aksi “Aura Farming” yang dilakukan anak-anak di atas perahu balap viral dan ditiru oleh warganet, termasuk dari luar Indonesia.
Tarian yang dilakukan di atas perahu oleh bocah selama Pacu Jalur tersebut viral dan disebut sebagai “Aura Farming” oleh warganet.
Mengutip Know Your Meme, Aura Farming merujuk upaya terus-menerus seseorang untuk tampil keren, memukau, atau berkarisma, demi membangun “momen aura” atau kesan kuat yang ingin ditampilkan ke publik.
Istilah ini berasal dari slang internet aura, dan mulai viral di platform seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok sekitar pertengahan September 2024.
Pacu Jalur sendiri merupakan tradisi asal Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Mengutip kemenpar.go.id, perlombaan mendayung ini menggunakan perahu dari kayu gelondongan, alias kayu utuh tanpa sambungan. Oleh masyarakat Riau, perahu tersebut dikenal dengan nama “jalur.”
Dikutip dari kotajalur.kuansing.go.id, sejarah tradisi ini berawal dari abad ke-17, di mana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan CerentiKecamatan Cerenti di hilir.
Baca Juga: Silent Walking Jadi Tren Viral di TikTok, Apa Itu?
Saat itu belum berkembang transportasi darat. Jalur pun benar-benar dipakai sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, serta untuk mengangkut sekitar 40 sampai 60 orang.
Lalu, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).
Pacu Jalur awalnya digelar di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam.
Di era Belanda, tradisi ini juga digelar untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat, serta memperingati hari kelahiran ratu Belanda Wilhelmina pada 31 Agustus.
Pacu jalur pada zaman Belanda di mulai pada tanggal 31 agustus sampai 1 atau 2 september. Perayaannya dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.
Seiring berkembangnya zaman, Pacu Jalur diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang diadakan pada sekitar bulan Agustus.
Baca Juga: SMK PGRI Lubuklinggau Diapresiasi Usai Beri Selamat ke Alumni yang Diterima di Ritel
Dikutip dari situs Kementerian Pariwisata, satu jalur bisa menampung 50 sampai 60 orang (anak pacu), dan setiap orang di perahu memiliki tugas masing-masing.
Mereka adalah Tukang Concang (komandan atau pemberi aba-aba), Tukang Pinggang (juru mudi), dan Tukang Onjai (pemberi irama dengan cara menggoyang-goyangkan badan), dan Tukang Tari atau Anak Coki yang ada di posisi paling depan.
Posisi Tukang Tari hampir selalu diisi oleh anak-anak karena mereka memiliki berat badan yang tergolong ringan. Dengan begitu, perahu tetap bisa melaju dengan lincah.
Gerakan yang dilakukan Anak Coki juga memiliki makna tersendiri. Mereka akan menari di depan jalur jika perahu yang dikendarainya unggul. Apabila sudah sampai garis finish, Anak Coki akan langsung sujud syukur di ujung perahu.