TopCareer.id – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan bahwa lebih dari setengah juta penerima (bansos), tercatat bermain judi online (judol).
Mereka menyebut, total deposit judol mencapai 571.410 NIK penerima bantuan sosial selama tahun 2024 mencapai Rp 957 miliar, dengan 7.5 kali transaksi.
Andreas Budi Widyanta, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, penerima bansos yang bermain judol tak bisa semena-mena untuk disalahkan. Menurutnya, mereka justru merupakan korban dari spiral kekerasan negara.
“Ini bukan soal moralitas individu semata, tapi soal absennya negara dalam memberi perlindungan dan literasi digital pada warganya,” kata Widyanta, mengutip ugm.ac.id, Senin (14/7/2025).
Fenomena keterlibatan warga miskin dalam judi online harus dilihat sebagai bagian dari dua persoalan besar: ketidaktepatan data bansos dan ketidaksiapan masyarakat digital.
Widyanta mengatakan, data penerima bansos seringkali tidak akurat dan dimanfaatkan sebagai alat politik, terutama menjelang pemilu.
Baca Juga: VIDEO: Tak Hanya Pemain, Judi Online Juga Makan Korban Pekerja Indonesia
Di sisi lain, banyak warga yang tidak memiliki literasi digital yang memadai, sehingga mudah terjebak dalam aplikasi judol. Widyanta menyebut, penerima bansos hanyalah bagian kecil dari warga yang terjerat judi online.
“Ini fenomena masyarakat digital yang tidak pernah disiapkan secara literasi. Negara absen memberi penyadaran,” kata Widyanta.
Selain itu, Widyanta juga mengatakan bahwa negara lalai, bahkan terlibat dalam pembiaran.
Kritik juga dilontarkan pada Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), yang dinilai tidak menjalankan fungsinya untuk melindungi publik dari praktik judol.
Menurutnya, platform-platform perjudian daring yang beroperasi di Indonesia tak bisa dilepaskan dari tarik ulur kepentingan politik dan ekonomi.
“Negara membiarkan bahkan memfasilitasi praktik judi online yang jelas-jelas merugikan rakyat. Seharusnya negara melindungi, bukan mengeksploitasi,” kata Widyanta.
Banyak Juga: PPATK: Mayoritas Pemain Judi Online Berpenghasilan di Bawah Rp 5 Juta
Widyanta mengatakan, spiral kekerasan bermula dari judi online, berlanjut ke pinjaman online, hingga mendorong masyarakat melakukan tindakan ekstrem seperti menjual aset, atau melakukan kekerasan demi melunasi utang.
Karena itu, solusi tidaklah cukup jika hanya dalam bentuk penindakan. Negara harus melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan.
Sementara, masyarakat juga perlu diberdayakan secara sosial dan ekonomi agar tidak hanya menjadi penerima bantuan, tapi juga mandiri. “Jangan jadikan bansos sebagai alat menciptakan ketergantungan,” kata Widyanta.
“Harus ada pendampingan dan pemberdayaan agar masyarakat bisa bangkit, punya usaha, dan tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketergantungan,” imbuhnya.
Widyanta menegaskan, kelompok warga miskin bukanlah pelaku utama dalam masalah ini, namun korban dari sistem yang tidak berpihak.
“Jangan salahkan mereka. Yang perlu dituntut pertanggungjawabannya adalah negara yang gagal melindungi,” pungkasnya.