TopCareer.id – Indonesia akhir-akhir ini mengalami kemarau basah. Fenomena ini dinilai punya dampak positif dan negatif bagi masyarakat, khususnya di sektor pertanian.
Kemarau basah sendiri merupakan musim di mana jika dalam kondisi normal masuk musim kemarau, namun justru pada bulan Mei, Juni, dan Juli, intensitas hujan sangat tinggi. Bahkan, situasi ini menimbulkan banjir di beberapa wilayah di Indonesia.
Bayu Dwi Apri Nugroho, pakar bidang agrometeorologi, ilmu lingkungan, dan perubahan iklim dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada mengatakan, diperlukan kewaspadaan membaca situasi ini.
Tidak hanya soal terjadinya bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor, namun yang patut diwaspadai adalah terkait persoalan pangan.
“Merujuk pada informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bahwa kemarau basah diprediksi akan terjadi selama 3 bulan kedepan, yaitu sampai Oktober 2024,” kata Apri, mengutip laman ugm.ac.id, Rabu (16/7/2025).
Apri menjelaskan, dampak kemarau basah sudah sangat dirasakan petani. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana bulan Mei-Juni petani sudah bisa menanam komoditas hortikultura seperti cabai atau bawang merah, di 2025 yang terjadi adalah sebaliknya.
Baca Juga: Musim Kemarau 2025 Terlambat Datang, Ini Penjelasan BMKG
Tahun ini, akibat intensitas hujan yang masih tinggi pada Mei, Juni, dan Juli, tidak sedikit petani yang mengalami gagal tanam karena perhitungan yang meleset.
Meningkatnya intensitas hujan menyebabkan banjir di lahan, sehingga akan menyebabkan kegagalan saat tanam yang pada akhirnya petani tidak bisa melakukan penanaman atau pemanenan (puso).
“Meski berdampak negatif, kemarau basah ini juga bisa berdampak secara positif untuk pertanian,” kata Apri.
Secara positif, kemarau basah yang meningkatkan intensitas curah hujan akan menguntungkan untuk wilayah-wilayah yang kering dan tadah hujan.
“Sehingga ini akan membuat ketersediaan air diwilayah-wilayah tersebut cukup dan petani di wilayah tersebut bisa melakukan aktifitas penanaman, seperti di wilayah Papua dan Indonesia bagian Timur lainnya,” jelasnya.
Di sisi lain, perlu pencegahan dan antisipasi terkait dengan kemarau basah. Diperlukan beberapa langkah strategis, di antaranya terkait kebutuhan soal prediksi cuaca masa depan secara nasional yang mendetail, hingga level desa atau lahan.
Informasi ini harus tersampaikan kepada masyarakat, terutama terkait anomali cuaca (La Nina).
Baca Juga: Hujan di Musim Kemarau, Waspada Cuaca Ekstrem Masih Mengintai
Prediksi semacam ini diharapkan bisa membantu mengurangi kerugian dan biaya yang ditimbulkan oleh bencana hidrometeorologis, sebagai dampak dari La Nina.
“Prediksi awal terjadinya La Niña ini bermanfaat dalam membantu perencanaan dan pengelolaan berbagai sektor seperti sumber daya air, energi, transportasi, pertanian, kehutanan, perikanan serta menghindari atau mengurangi potensi kerugian yang lebih besar,” kata Apri.
Edukasi secara terus menerus soal La Nina dan fenomena anomali cuaca lainnya beserta dampaknya, juga perlu disampaikan terus menerus.
Jika diperlukan, edukasi ini harus disampaikan kepada para petani melalui peran para penyuluh pertanian yang ada di wilayah masing-masing.
Apri mengatakan, saat ini sudah saatnya ada asuransi pertanian terkait kegagalan panen petani akibat La Nina, atau fenomena anomali iklim lainnya.
“Yang tak kalah penting bisa memastikan kesiapan sarana dan prasarana untuk menghadapi La Niña, seperti ketersediaan pompa untuk pompanisasi in-out dari sawah, rehabilitasi jaringan irigasi tersier/kwarter, menggunakan benih tahan genangan seperti Inpara 1-10, Inpari 29, Inpari 30, Ciherang, dan lainnya,” pungkasnya.