TopCareer.id – Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, yang menyebut adanya penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Adapun menurut BPS, jumlah penduduk miskin per Maret 2025 mencapai 8,47 persen dari total populasi, atau sekitar 23,8 juta jiwa. Angka ini turun 0,1 persen poin dibandingkan dengan September 2024.
Dalam siaran persnya, ditulis Rabu (30/7/2025), Celios menyebut bahwa penurunan kemiskinan secara gradual bukan hal mengejutkan, karena adanya bonus demografi.
Penduduk miskin idealnya turun seiring peningkatan produktivitas ekonomi, serta meningkatnya kemampuan negara dalam menyediakan akses layanan publik.
Namun, penurunan yang hanya 0,1 persen poin menunjukkan kemampuan negara untuk terus menurunkan angka kemiskinan semakin berkurang.
Banyak masyarakat yang keluar dari garis kemiskinan, tapi dalam waktu bersamaan, jumlah orang yang jatuh miskin kembali atau menjadi miskin baru juga tinggi.
Akibatnya, penurunan bersih (net) sangat kecil, dan tidak mencerminkan kemajuan yang signifikan dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga: Lonjakan Pengangguran Bisa Jadi Bom Waktu, Pemerintah Didorong Lakukan Ini
Celios juga yakin penduduk miskin di lapangan jauh lebih banyak daripada angka pemerintah. Ini terlihat dari kesenjangan mencolok antara data kemiskinan pemerintah dan lembaga internasional.
World Bank melaporkan, sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau setara dengan 194,4 juta jiwa.
Angka ini sangat berbeda dengan data BPS yang mencatat hanya 8,57 persen atau 24,06 juta orang yang dikategorikan miskin.
Meski terdapat perbedaan metodologi, namun kesenjangan yang mencapai delapan kali lipat dirasa menunjukkan adanya masalah, dalam cara mendefinisikan kemiskinan.
BPS sudah hampir lima dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan dengan berbasiskan pengeluaran serta item-item yang tidak banyak berubah, serta tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi.
“Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios.
Menurutnya, jika angka kemiskinan BPS dikeluarkan tanpa revisi garis kemiskinan, ini menyebabkan datanya kurang valid. Masalah data ini pun bakal berimbas pada pengambilan kebijakan pemerintah.
Bhima mencontohkan, klaim pemerintah terkait keberhasilan perlindungan sosial, program pertanian, Makan Bergizi Gratis, dan hilirisasi tidak sepenuhnya tercermin dari data BPS.
Baca Juga: Pakar: Indonesia Harus Ubah Standar Kemiskinan
Data yang tak bisa jadi acuan program bantuan sosial karena masalah keakuratan data ini akhirnya membuat pemerintah mengeluarkan anggaran lebih besar, untuk identifikasi penerima manfaat.
“Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang beda dengan BPS,” kata Bhima.
Celios pun menilai bahwa solusi mendesak adalah dengan reformasi metodologi pengukuran kemiskinan nasional, seperti yang dilakukan Malaysia dan Uni Eropa.
Lembaga itu pun mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres), yang menetapkan pendekatan baru dalam memaknai kemiskinan secara lintas sektoral.
Menurut mereka, Perpres ini bisa jadi dasar bagi integrasi data, sinkronisasi indikator, dan penyesuaian seluruh program pengentasan kemiskinan ke depan.
Namun, langkah tersebut hanya mungkin dilakukan jika data kemiskinan tidak lagi dipolitisasi.
Selama angka kemiskinan hanya digunakan untuk kepentingan pencitraan atau legitimasi politik, maka reformasi metodologi hanya akan menjadi retorika.
Ukuran Kesejahteraan Jangan Lagi Berbasis Pengeluaran
Sebagai alternatif, Celios mengusulkan agar ukuran kesejahteraan tidak lagi berbasis pengeluaran, tapi juga pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income).
Ini berarti pendapatan bersih yang tersedia setelah dikurangi kewajiban pokok seperti pajak dan kebutuhan dasar.
Pendapatan disposabel mencerminkan kondisi akhir setelah negara menjalankan peran redistributifnya, baik melalui pungutan maupun transfer sosial.
Dengan membandingkan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi fiskal, maka dapat dinilai seberapa efektif kebijakan negara dalam memperbaiki kehidupan masyarakat.
“Sehingga kita tahu mana program yang harus dilanjutkan, mana yang harus dihentikan,” tulis Celios.
Indikator kesejahteraan masyarakat lain juga harus dilihat dalam satu paket evaluasi pembangunan.
Misalnya, akses terhadap pendidikan, perumahan dan kesehatan, upah yang layak, jaminan hari tua, angka pengangguran dan PHK, hingga tingkat kejahatan dan korupsi.
“Saat ini pemerintah hanya memilih data-data yang positif, dengan landasan metodologi yang lemah dan pada
saat yang sama mengabaikan indikator penting lainnya,” pungkas mereka.