TopCareerID

BPS Sebut Tingkat Pengangguran Turun, Jangan Senang Dulu!

Ilustrasi pengangguran di kota besar. (Gambar dibuat dengan AI ChatGPT)

TopCareer.id – Turunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), seperti yang diungkap Badan Pusat Statistik (BPS), bukan berarti menandakan kondisi pasar kerja membaik.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) edisi Februari 2025 sebelumnya mencatat bahwa TPT turun dari 4,82 persen menjadi 4,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Ini berarti, proporsi jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja (bekerja ditambah penganggur) berkurang.

Namun di satu sisi lain, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih mengintai, dengan lebih dari 18 ribu pekerja terkena pemangkasan di dua bulan pertama 2025, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

Peneliti ketenagakerjaan, Qisha Quarina mengatkan, turunnya angka TPT tidak serta merta menunjukkan perbaikan pasar tenaga kerja di Indonesia.

“Meskipun data menunjukkan tingkat pengangguran terbuka menurun, tetapi jumlah pengangguran secara absolut justru mengalami peningkatan,” ujarnya, mengutip ugm.ac.id, Kamis (31/7/2025).

Baca Juga: Produktivitas dan Pengangguran Masih Jadi Tantangan Ketenagakerjaan RI

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) ini menjelaskan, hal itu terjadi karena jumlah penduduk yang bekerja bertambah lebih cepat dibanding jumlah penganggur.

Sehingga, meski tingkat pengangguran terbuka menurun, namun total jumlah orang yang menganggur tetap bertambah.

Qisha menyebut, kondisi ini memperlihatkan bagaimana data statistik bisa menimbulkan kesan menyesatkan, apabila tidak dipahami secara utuh.

Ia pun menegaskan, isu ketenagakerjaan nasional tak cuma soal pengangguran, tapi juga mengenai pekerjaan yang layak. “Masalah utama kita bukan hanya soal ada kerja atau tidak, tetapi juga soal pekerjaan yang layak,” kata Qisha.

Di sini, konsep pekerjaan layak atau decent job dari International Labour Organization (ILO) menjadi sangat relevan. Konsep ini mencakup empat pilar yaitu penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, hak-hak pekerja, dan dialog sosial.

“Sayang, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam keempat aspek tersebut,” ujar Koordinator Bidang Kajian Microeconomics Dashboard (Micdash) FEB UGM itu.

Dominasi pekerja informal jadi salah satu kerentanan dalam struktur ketenagakerjaan tanah air.

Data Sakernas Februari 2025 menyebut, ada 86,58 juta pekerja di sektor informal. Jumlah tersebut jauh melampaui pekerja formal yang tercatat sebanyak 59,19 juta orang.

Artinya, mayoritas tenaga kerja di Indonesia belum mendapatkan perlindungan hukum maupun jaminan sosial secara memadai.

Baca Juga: Reskilling dan Upskilling Harus Jadi Strategi Atasi Pengangguran pada Generasi Muda

Tantangan lain adalah masih rendahnya kualitas hubungan kerja, dengan masih banyak pekerja yang tidak memiliki perjanjian kerja tertulis.

Hanya sekitar 11,57 juta pekerja yang memiliki Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Sementara, lebih dari 26 juta bekerja tanpa kontrak dan sekitar 16 juta pekerja hanya mengandalkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

“Bahkan sebagian besar dari mereka tetap bekerja lebih dari 35 jam per minggu, artinya secara produktivitas tidak kalah, tapi secara perlindungan sangat lemah,” ungkapnya.

Selain itu, masih ada tantangan berupa rendahnya kepesertaan dalam jaminan sosial ketenagakerjaan.

Banyak pekerja yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, bahkan tidak tahu status kepesertaannya. Kondisi ini pun membuat mereka dalam posisi yang sangat rentan.

“Tanpa adanya jaminan sosial, para pekerja tidak memiliki perlindungan finansial jika menghadapi risiko seperti sakit, kecelakaan kerja, atau pemutusan hubungan kerja,” pungkas Qisha.

Exit mobile version